lagu

Popular Posts

MASALAH SOSIOLOGIS DALAM PENDIDIKAN

Minggu, April 20, 2014 |


 
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas ini tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ” Masalah Sosiologis Dalam Pendidikan " dengan baik. 

Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas kuliah serta memberi pengetahuan tentang Sosiologi Pendidikan. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penyusun menerima kritik dan saran yang membangun demi terciptanya makalah yang lebih baik di waktu yang akan datang.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada guru/dosen pembimbing bapak Dr. MM. Sukamto, M.Pd yang membantu penyusun menyelesaikan makalah ini dan semua pihak yang penyusun tidak bisa sebutkan satu per satu.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman, Amin.






Malang , 04 Maret 2014










MASALAH SOSIOLOGIS DALAM PENDIDIKAN

A.PENDIDIKAN MULTIKULTURAL : MENGEMBANGKAN PRINSIP UNITY IN DIVERSITY
1. Dari MonokulturMenujuMultikultur
Perubahan pemikiran tentang pendidikan dari monokultur menuju multikultur di Amerika Serikat mulai berkembang tahun 1990-an. Pemikiran ini muncul setelah dirasakan hubungan antara budaya dominan dengan budaya yang lebih lemah telah melahirkan konflik, bahkan agresi dan perlawanan. Kesadaran warga Amerika Serikat untuk membuka diri bagi masuknya budaya- budaya lain kemudian dibawa masuk kedalam dunia pendidikan. Hanley (2004) menegaskan, bahwa pendidikan harus memberi sumbangan dalam menumbuhkan kesadaran akan pluralisme budaya. Selama ini semangan monokultur banyak mewarnai kebijakan pendidikan, dan bukan semangat multikultur. Dalam pendidikan monokultur, seluruh pengelolaan input, proses dan output pendidikan lebih mengacu kepada nilai-nilai budaya dominan disekitar sekolah atau madrasah itu sendiri. Nilai –nilai budaya yang lemah ditempatkan di tepi batas (pinggiran) dari proses pendidikan. Pendidikan monokultur identik dengan peminggiran atau peripheralisasi nilai-nilai diluar tradisi budaya dominan.
Pendidikan monokultur bukan saja telah menyebabkan terjadinya proses peminggiran budaya non dominan, tetapi juga menumbhkan sensivitas terhadap perbedaan. Sementara perkembangan masyarakat kian mengarah kepada keanekaragaman. Dan sementara itu cara orang melihat, merasakan, memahami serta mendefinisikan fenomena kehidupan lebih ditentukan oleh asal usul budaya. Dalam prespektif kehidupan yang beraneka ragam tugas pendidikan menfasilitasi peserta didik dalam melihat, merasakan, memahami serta mendefinisikan fenomena kehidupan akan dapat dilakukan dengan baik apabila dikembangkan dalam prespektif kesadaran yang menghargai perbedaan atau pluralisme budaya. Belum banyak yang menyadari bahwa kehidupan semakin majemuk. Namun, paradigma pendidikan belum diubah. Pendidikan masih menggunakan paradigma tunggal. Ditengah masyarakat yang kian majemuk pandangan serba tunggal itu bisa melahirkan berbagai masalah. Pendidikan monokultur hanya melahirkan manusia yang hanya bisa bergaul dengan orang yang memilii pandangan yang sama.
Pendidikan multikultur mencoba menggantikan perspektif monokultur. Pendidikan multikultur mengajak melihat perbedaan sesuatu yang wajar. Pendidikan multikultur melahirkan manusia-manusia yang siap bergaul, berinteraksi, berkerjasama, saling mengisi, saling harga menghargai, hormat menghormati dengan orang lain, meski cara hidup berbeda, mengucap salam pembuka dan penutup pidato berbeda, ststus sosial dan ekonomi tidak sama, lambang-lambang dan simbol-simbol kehidupan yang mereka pakai berbeda. Pendek kata, seperti yang dikatakan oleh Hanley (2004), pendidikan multikultur berkaitan dengan perubahan sosial melaui pendidikan. Pendidikan multikultur adalah sebuah upaya mengantar perjalanan hidup manusia membangun kehidupan yang adil, menuju kehidupan yang demokratis.
Minderovic (2004) menganjurkan agar dalam pendidikan multikultur tidak membawa budaya dominan dalam kelas. Sebaliknya, pihak pengelola pendidikan harus mengintrodusir multikultur yang mempresentasikan latarbelkang budaya para siswa yang diasuhnya.
Dalam penyelanggaraan pendidikan multikultural, maka kepemimpinan kurikulum menjadi pemegang kunci. Kenerhasilan pendidikan multikultural tergantung bagaimana kurikulum disekolah itu akan dikemas.  Jadi dalam kurikulum pendidikan multikultural, tidak bisa lagi menjadikan nilai dan tradisi budaya dominan menguasai praktek pembelajaran disekolah. Budaya dominan itu harus digantikan dengan transformasi praktek multikultural dengan berbagai strategi pembelajaran seperti dengan cara membawa siswa untuk mengenal berbagai peristiwa sejarah, fenomena sosial, bernagai lambang dan simbol-simbol budaya yang beraneka ragam.


2. Great Transformation
            Bangsa Indonesia menggarap perubahan dengan harapan bisa melahirkan apa yang disebut oleh Karl Polanji (1944) dengan the great transformation.Pendidikan merupakan salah satu jalur yang ditempuh untuk melakukan transformasi besar-besaran. Disini perspektik behavioristik ditinggalkan dan digantikan dengan konstruktivistik. Pendidikan yang hanya diperuntukkan mencerdaskan otak manusia, ditransformasi ke dalam perspektif yang lebih holistic. Hal ini mencerdaskan perilaku mereka secara keseluruhan dalam menghadapi kehidupan. Pendidikan ini dimaksudkan untuk menyiapkan manusia yang sanggup hadir sebagai modal ekonomi, social maupun budaya.
            Melihat fenomena yang berkembang, terasa pendidikan di negeri ini tampak jauh tertinggal. Bukan hanya karena tingkat daya saing sumberdaya manusia Indonesia sangat rendah. Indonesia berada di urutan 105 dibawah Singapura dan Brunei Darussalam. Kian memprihatinkan setelah pendidikan di negeri ini tidak mampu memberi sumbangan yang berarti dalam menyiapkan modal ekonomi, sosial maupun modal budaya. Bangsa kita bukan hanya mengalami kemiskinan ekonomi, tetapi juga miskin budaya. Bangsa ini awal abad 21 mengalami krisis social.Begitu mudah muncul prasangka, konflik, kekerasan dan rasa saling menegasikan sesama anak bangsa.   
            Pada pergantian decade 1990-2000, ancaman terror, kekerasan dan konflik berdarah berlatar belakang etnik dan agama telah meruyak kehidupan bangsa Indonesia. Begitu banyak orang kehilanghan harta dan nyawa di Sampit, Aceh, Ambon, Papua, Jakarta, Banyuwangi, dan di berbagai daerah lainnya. Negeri yang semula berani mengatakan negeri yang warganya ramah, negeri yang hidup di kepulauan nusantara yang indah, bak untaian jamrud katulistiwa sekarang menjadi terbalik atau bias dikatakan yang dulu bak potongan syurga berubah menjadi bak potongan neraka akibat krisis, konflik, dan kekerasan berdarah.
            Kekayaan bangsa Indonesia berupa bahasa, etnisitas, ras, adat kebiasaan bukan menjadi modal. Sebaliknya realitas multikultural yang dimiliki bangsa Indonesia itu justru menjelma menjadi beban sosial. Budaya kita bukan lagi budaya ramah, melainkan budaya kekerasan. Dengan demikian Hobbes menawarkan jalan keluar yakni harus muncul Negara yang memiliki kekuasaan absolut.dengan demikian Negara bisa menghimpun kekuatan efektif mencegah konflik dan kekerasan antar warga. Namun prakteknya di negeri ini setelah kekuasaan absolut di tangan Negara, terjadi begitu banyak kekerasan. Misalnya antara tahun 1990-1998 terjadi kurang lebih 40 kerusuhan dan 10 armed attack – serangan atau kekerasan bersenjata sipil dan militer ke kelompok lain.
            Bagaimanapun semua problem konteks social dalam konteks ini adalah problema multicultural, seperti tergambar diatas tidak bisa lepas dari institusi pendidikan nasional kita. Dengan kata lain institusi pendidikan harus memiliki jawaban atas munculnya krisis ekonomi, social maupun budaya seperti itu. Justru jawaban atas problema social seperti ituseharusnya menjadi dasar pengukuran keberhasilan sebuah proses pendidikan. Dengan berbasis result driven education seperti itulah pendidikan akan menghasilkan outcome sebagaimana yang diharapkan masyarakat.
Arti Penting dan Strategi Pendidikan



Pendidikan
Pembangunan Modal Manusia



Peningkatan Mutu Kehidupan dan Penurunan Kemiskinan



Pembangunan dan Pertumbuhan Makro
Kesehatan dan Nutrisi
Pembangunan Modal Sosial Keadilan dan Kohesi
     Sumber : Education Sector Strategy, The World BANK, 1999
            Mengacu kepada Bank Dunia, dalam laporan strategi dalam sector pendidikan (1999) ada tiga hal yang harus bisa diwujudkan melalui pendidikan. Pertama, pembangunan modal manusia sehingga lahir manusia-manusia yang produktif. Kedua, manusia-manusia yang sehat dengan nutrisi yang baik. Dan ketiga, pembangunan modal social. Sehingga dengan demikian pendidikan bisa membantu mewujudkan rasa keadilan serta kohesi social ditengah kehidupan manusia yang beraneka ragam latar belakang social, budaya maupun ekonomi politik mereka.
            Memang jika pendidikan dilihat dari perspektif outcome basedlearning, maka keberhasilan pendidikan dan pengajaran tidak akan diukur dari nilai yang diterima atau beragam bidang studi yang dipelajari. Pendidikan akan diukur dari apa yang benar-benar diketahui dal dialami sebagai hasil dari waktu yang mereka habiskan di sekolah. Termasuk didalamnya pengalaman menghadapi keberagaman kultur siswa maupun masyarakat. Dengan demikian outcome pendidikan salah satunya adalah sumber daya manusia yang memiliki kesadaran multicultural. Dengan demikian jika outcome itu tercapai, maka masyarakat akan memetik benefit berupa realitas baru yakni sebuah realitas dimana pluralism kultural tidak lagi menjadi factor liabilitas, melainkan justru sebagai penompang pembentukan budaya hidup toleran, damai, dan demokratis.
3. Konstruk Tentang Pluralitas Budaya
            Mengacu kepada kajian Agnew dan Brusa ada tiga sasaran konstruk mereka tentang multikulturalisme. Pertama kesadaran masing-masing warga masyarakat dalam mencari atau mengkonstruk identitas budaya. Kedua  kesetiaan dalam mengenakan identitas yang dipilihnya. Dan yang ketiga mengenai persebaran identitas budaya itu sendiri (Agnew dan Brusa, 1999:117).
            Kajian tentang pencarian dan konstruk identitas budaya, ada dua perspektif. Pertama perspektif esensialis yang memandang identitas budaya sebagai sesuatu yang  given, diwarisi secara turun temurun. Kedua eksponen konstruksionis yang memandang identitas merupakan  “intelectual artefact” or “cultural construct”.  Identitas bukan produk dari alam – “nature” melainkan konsekuensi dari pendidikan dan pembelajaran – “nurture” (Spiering 1999:151).
            Melalui perspektif konstruksionis inilah dapat dipahami jika pembentukan identitas budaya nasional kita masih terus dalam proses “menjadi”. Pada awal pembentukan negara bangsa, nenek moyang kita memulai dengan penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua-franca. Tahun 1928 mereka memperkokoh identitas kebangsaan tersebut melalui Sumpah Pemuda. Begitu seterusnya hingga sekarang proses formasi identitas budaya nasional belum juga selesai. Apalagi kini memasuki era globalisasi yang mengalirkan proses hybridisasi (Pieterse, 1995:45) atau globalisasi budaya (Robertson, 1995:25) yakni proses keikut sertaan penciptaan dan inkorporasi budaya lokal dalam formasi budaya yang lebih luas, regional, nasional dan bahkan global, menjadikan formasi identitas budaya nasional terus dalam masa transformasi.
            Mengenai pembentukan dan pola kesetiaan dalam mengenakan identitas di tengah masyarakat, bisa bersumber dari faktor-faktor horizontal maupun vertikal. Secara vertikal pembentukan identitas budaya melahirkan segregasi atau pembelahan dean pemilahan masyarakat yang mampu dan tidak mampu, kaya-miskin, masing-masing lengkap dengan simbol, bahasa, life-style, pola pergaulan, perkawinan dan budaya yang berbeda-beda. Sementara itu pembentukan identitas yang bersumber dari faktor horizontal seperti faktor budaya, geografis, pemukiman dan etnisitas.
            Pembentukan identitas berdasar etnis sering berkait dengan faktor lokalitas seperti etnis Cina menghuni pusat-pusat kota. Di Surabaya, misalnya etnis Cina menghuni kawasan elit seperti daerah Darmo Grand, Galaxy dsb. Sementara etnis Madura di daerah Bulak Banteng, Surabaya Utara. Etnis Bugis di sekitar kawasan jalan Indrapura. Kemudian etnis Arab di daerah Nyamplungan dan seterusnya masing-masing terkait dengan lokalitas demografis mereka. Lokalitas dan etnisitas menyatu, bahkan dipertahankan dengan segala pengorbanan.
            Perkembangan selanjutnya, etnisitas bukan hanya berkait dengan lokalitas geografis, tetapi juga loyalitas terhadap ideologi, agama, budaya, termasuk bahasa. Bisa pula karena budaya dan kebijakan publik tertentu, kekuatan-kekuatan ekonomi itu dideferensiasi berdasarkan etnik pula, misalnya kelompok etnik Cina yang lebih suka berdagang daripada pegawai pemerintah. Demikian pula kelompok etnik Jawa yang menjadi pegawai negeri sesuai kultur priyayi. Pendek kata deferensiasi etnik bisa dilihat dari karakter, bahasa, agama, ekonomi dan bahkan juga perkawinan.
Berikut ini pemetaan kelompok etnik, budaya lokal dan agama di Jawa Timur :      

Etnik
Wilayah
karakter
Bahasa
ekonomi
Agama
perkawinan
Madura
a.       Bangkalan
b.      pamekasan
Barat tengah
Keras,lugas dan egaliter
Madura kasar
Petani,ladang,dan pedagang
Islam santri
Agama  dan etnik
c.       sumenep
timur
berjenjang
Madura halus
Birokrat


Jawa
a.       pasistran
pantura
Keras,lugas dan egaliter
Jawa ngoko dan jawa madya
Petambak petani pedagang
Islam santri
Endogami agama
b.      pedalaman
tengah
Tidak lugas berjenjang
Ngoko, madya ,inggil
Petani dan birokrat (priyayi)
Islam santri abangan kristen
Endogami agama
c.       tengger
tengger
Tertutup egaliter
Jawa pra s. Agung
Petani ladang
Hindu islam santri
Endogami agama
Campuran
a.       pedalungan
t. kuda
Keras, lugas dan egaliter
Madura
Petani sawah pedagang
Islam santri
Endogami agama
b.      osing
blambangan
egaliter
Osing
Petani
Islam
Endogami agama
Non penduduk asli
a.       cina
kota
egaliter
Jawa madura indonesia cina
pedagang
Kristen islam budha konghucu
Endogami etnik
b.      arab
kota
Relatif egaliter
Arab indonesia
pedagang
Islam
Endogami etnik dan kelas
c.       india
Kota                    
Relatif egaliter
India indonesia
Pedagang
Hindu dan islam
Endogami etnik dan agama










4.      Pilihan Perspektif Pendidikan Multikultural

            Pengelolaan pendidikan multikultural tidak bisa lepas dari upaya melakukan pilihan terhadap perspektid pengelolaan pluralisme budaya yang ada di masyarakat. Pada tataran teoritik terdapat dua perspektif. Pertama, pendekatan convessionalism yang mengakui keanekaragaman identitas budaya. Dalam hal ini masing-masing entitas budaya diberi hak membawa simbol-simbol dan lambang mereka ke ranah publik. Konsep kesatuan dalam hal ini disturktur oleh keragaman budaya atau yang kemudian dikenal dengan unity in diversity. Kedua, perspektif deconvessionalism – yang dalam hal ini harus ada pengelolaan simbol-simbol askribtif di ruang publik. Simbol dan lambang-lambang yang mempresentasikan identitas atau budaya partikular tidak diperbolehkan di bawa keranah publik, hanya diperbolehkan memakai lambang dan simbol-simbol bersama. Konsep kesatuan kemudian distruktur secara seragam atau yang dikenal dengan unity without diversity (Stoer dan Ortesao, 2000: 269, Neuwenhujice,1958:180-243)
            Pemerintah Orde Lama, awalnya memilih pendekatan convensinalism. Pemerintah mengakui keragaman etnisitas dan identitas budaya masyarakata. Namun untuk menghindari konflik antar identitas budaya atau etnik, khususnya antar pribumi san non-pribumi, pada tahun 1950-an pemerintah sempat membatasi usaha dan tempat tinggal non-pribumi oleh negara, tidak pada masyarakat-masyarakat lain. Dalam catatan antropologis, menghadapi intervensi masyarakat lain, sejumlah masyarakat pedalaman mencoba mempertahankan dengan dalih kultural, seperti yang dilakukan oleh suku Badui Dalam. Sebagian mereka menarik diri ke pedalaman, menghindari atau membatasi hubungan- hubungan dengan masyarakat luar, dan menjadi masyarakat terasing.
            Pemerintah Orde Baru memilih menempuh pola deconvessionalism denganmelakukan :penyeragaman” demi “persatuan’ dan “keutuhan”. Aliran-aliran kepercayaan dan agama-agama asli tidak atau “kurang” diterima sebagai satu ciri “khas” yang harus dihormati pada masyarakat lokal, seperti termaktub dalam penjelasan UUD 1945 tentang pemerintah daerah dan kebudayaan nasional. Penganut aliran kepercayaan dan agama asli, dipaksa masuk dalam “kotak” yang telah disediakan oleh negara, yaitu lima agama resmi. Organisasi-organisasi keagamaan pun ‘diatur” oleh negara.
            Begitu pula dengan migrasi dari masyarakat dari luar membuat “pribumi” terdesak. Kisah dari Kampung Halaman (Juweng, et.al., 1996) menceritakan ideologi modernisasi pemerintah Orde Baru  memaksa masyarakat “pribumi” melakukan. Masyarakat Dayak misalnya, memilih menganut agama non-Muslim sebagai perlawanan terhadap negara dan masyarakat “non-pribumi” (tidak selalu etnik China).
            Pola pengelolaan pluralisme identitas budaya lalu berubah setelah reformasi. Pada .masa ini negara dalam keadaan lemah (stateless). Ketika negara rapuh, tidak lagi otoriter, karena kebijakan ekonomi makro keliru dan mengakibatkan krisis moneter, maka negara tidak memiliki apa yang disebut dengan the state capacity dalam mengelola perbedaan identitas budaya. Negara memilih membiarkan masyarakat membawa simbol dan identitas partikular dan askribtif mereka ke ranah publik. Namun apa yang kemudian terjadi adalah munculnya berbagai prasangka dan konflik antar etnis. Serta merta masyarakat “pribumi” menuntut haknya dan terjadilah konflik terbuka, seperti kasus Sambas, Aceh, dan Ambon.
            Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di Eropa. Ketika negara lemah, kecenderungan untuk melakukan kekerasan muncul di kawasan itu, Stoer dan Corteao (2000;256) bahkan mencatat bahwa hilangnya European’ law-gaverned state, menjadikan warga negara bangsa di kawasan ini melakukan prktik kekerasan, sebagian justru mengatasnamakan ketiadaan negara Eropa. Sekelompok masyarkat membentuk sebuah entitas kekerasan menjadi sebuah “mafia” yang sempat menjadi sangat powerful di Eropa Timur.
            Belajar dari praktek pengelolaan realitas multikultural di atas, maka dapat dipahami betapa rapuhnya jika asumsi yang dipakai adalah homogenitas budaya. Wolfgang Sachs mengatakan bahwa planet bumi kita idak lagi bisa diimajinasikan sebagai sebuah daratan yang homogen yang di dalamnya perbedaan harus diratakan. Planet bumi kini merupakan dataran yang terpilah-pilah dengan perbedaan mewarnai berbagai kawasan di permukaan bumi. Sachs lalu menawarkan perspektifcosmopolitan-localism- sebuah perspektif yang menghargai the self-determination dan local-knowledge di tengah proses kosmopolitan dewasa ini (McMichael,1996:234).
            Dalam berbagai praktek, persatuan tanpa keragaman (unity without diversity) hanya melahirkan korporatisme yang kemudian memicu lahirnya kekerasan negara – the state violence. Maka tidak sepenuhnya salah kalau ada yang mengingatkan bahwa rasisme modern bukan persoalan hubungan dengan the other saja, tapi juga implikasi intervensi negara (Stoer dan Cortesao, 2000:256)

Bagan: Hubungan Negara, Kelompok Etnik dan Budaya Lokal
Weak State
(Negara Lemah)
Weak State
(Negara Kuat)
 


                                                      
Kontrol, Hegemoni
dan korporatisasi
                                                      
MASYARAKAT
LOKAL
                                                                                                      
KONFLIK
LATEN

PRASANGKA
SOSIAL
MASYARAKAT PRIBUMI
KONFLIK
MANIFES

MARGINALISASI
KOMPETISI
                                                       






5. Pendidikan Multikultural Dalam Pembelajaran
            Berangkat dari pluralisme budaya dan pengandaian pendidikan counstructivisme maka dalam pengelolahan pendidikan harus berangkat dari suatu keyakinan bahwa setiap warga masyarakat memiliki konstruk mereka mengenai budaya yang mereka pilih. Di dalam sekolah pelajar atau siswa di beri ruang untuk menciptakan struktur pengetahuan dan kontruks tentang identitas budaya mereka sehingga mengimplikasikan keharusan menerima keragaman konstruk siswa, karena siswa sekolah datang dari berbagai latar belakang nilai, keyakinan dan kultur, etnisitas, ideology maupun agama yang berbeda. Dalam konteks inilah pendidikan tidak  dapat dikemas dengan cara monokultur, melainkan tetap harus menyediakan ruang bagi siswa untuk bias memasuki arus tranformasi sosial yang menuntut egalitarian, demokratisasi dan keadilan di tengah pluralitas budaya.
            Dengan demikian yang mendesak dalam pengembangan pendidikan multicultural pertama-tama adalah penyadaranakan pentingnya nilai-nilai yang menopang budaya plural dan nilai-nilai harus dikembangkan menjadi bagian dari budaya sekolah. Disamping menumbuhkan kesadaranakan perbedaan, penting untuk ditumbuhkan nilai kesederajatan (equality) dengan pandangan kesederajatan ini akan dikembangkan pemahaman bahwa setiap orang memiliki hak-hak dasar (basic right) yang sama. Pengakuan hak-hak dasar yang setara tanpa pandang bulu akan terwujud jika ditanamkan nilai-nilai tanggung jawab social serta tanggung jawab bersama sebagai sesama anak bangsa.
            Apabila standar kompetensi kurikulum pendidikan nasional yang memasuki pendidikan multicultural sebagai salah satu subjek pembelajaran sosiologi di kelas menengah berhasil dicapai maka pendidikan multicultural akan mampu mengantarkan siswa berperan dalam menciptakan budaya demokratis dan masyarakat multicultural, masyarakat yang menjunjung rasa keadilan dan penegakan hukum. Jika ternyata pendidikan multicultural belum memberikan sumbangan yang signifikan dalam upaya menghapus prasangka social mungkin subjek pendidikan multicultural belum di sadari sepenuhnya oleh actor pendidikan apabila sudah di sadari, barangkali aspek teknologi pembelajaran yang diterapkan belum efektif.
            Empat dimensi pendidikan multicultural yang harus memperoleh penekanan agar transformasi pendidikan multicultural efektif menurut Quezada danRomo (2004:4) yaitu :
1.      Pembaharuan kurikulum
2.      Siswa diarahkan kepada tantang upaya membangun masyarakat berkeadilan
3.      Upaya mereduksi prasangka dan pengembangan identitas etnis
4.      Peningkatan kompetensi multicultural
Dalam menstransformasikan pendidikan multicultural membutuhkan praktik pembelajaran di kelas yang lebih kreatif. Pengalaman Bertalan, professor ilmu politik di Hills borough Community College, Florida, bias dijadikan rujukan. Pengalaman enam tahun sebagai intruktur kursus “Pembelajaran untuk warga yang beragam budaya” dia menerapkan beragam cara salah satunya adalah menyodorkan sejumlah text books yang memuat sejarah perjuangan etnis tertentu, setelah  itu dia member tugas kelompok maupun individu. Dalam tugas individu mereka presentasi adat, makanan, sejarah, budaya, agama, perkawinan dan berbagai symbol etnik tertentu terutama etnik peserta didik. Sedangkan tugas kelompok mereka bukan hanya mendiskusikan isi buku melainkan diminta untuk memvisualkan. Ternyata muncul kreatifitas siswa yang menarik ada yang memvisualkan dalam bentuk kuis dengan mengambil bahan dari text books, ada yang bermain drama pendek, membuat poster. Siswa bukan hanya belajar apa yang ada dalam text books, tetapi mereka bias melihat cara-cara yang lebih kreatif seperti terlibat dalam presentasi di kelas.
Di Negara-negara maju, pendidikan multicultural ditransformasikan melalui program service learning, sebuah metode pembelajaran yang didalamnya siswa atau peserta didik belajar dan mengembangkan kompetensinya dengan cara aktif berpartisipasi dalam praktek pelayanan masyarakat secara teroganisir. Siswa diintegrasikan kedalam kurikulum akademik atau komponen pendidikan program pelayanan masyarakat. Dengan service learning sekolah mengantarkan siswa kedalam pelayanan masyarakat seiring dengan pencapaian setandar kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum berupa tanggungjawab kewarganegaraan dan memberdayakan masyarakat (Cipolle,2004:2-4). Menurut Cipolle service learning ditandai dengan:
1.      Pembelajaran yang terpusat pada siswa
2.      Kolaboratif
3.      Pengalaman
4.      Bersifatintelektual
5.      Analitikal
6.      Multicultural
7.      Berbasisnilai
8.      Didasarkan semangat aktifis
Dengan demikian pendidikan multicultural bukan sekedar pengembangan wacana, melainkan ditransformasikan dalam tindakan nyata dan langsung dapat dirasakan hasilnya baik oleh siswa itu sendiri maupun oleh masyarakat, model pembelajaran multicultural seperti ini tentu saja membutuhkan kualifikasi tenaga pengajar yang relevan. Renner dkk (2004:137-57) menyebutkan enam prinsip yang harus dimiliki oleh guru yaitu:
1.      Guru harus memahami dan dapat menerapkan disiplin ilmu kemanusian dan masyarakat untuk memahami makna pendidikan sekolah dalam kontek budaya yang beranekaragam
2.      Memahami dan dapat menerapkan prespektif normative kedalam pendidikan dan sekolah
3.      Memahami dan dapat melaksanakan prespektif kritisdalam pendidikan dan sekolah
4.      Memahami prinsip-prinsip moral berkaitan dengan institusi demokrasi yang dapat dijadiakan bahan informasi yang berguna untuk mengarahkan praktik sekolah, kepemimpinan dan pengelolaan pendidikan
5.      Memahami makna perbedaan dalam masyarakat demokratis dan bagaimana menjabarkan dalam tujuan intruksional, kepemimpinan dan pengelolaan pendidikan
6.      Memahami bagaimana komitmen moral mempengaruhi proses evaluasi pada level praktik sekolah, kepemimpinan dan pengelolaan pendidikan




B. PERAN PENDIDIKAN DALAM PERUBAHAN SOSIAL
1. Pendidikan Sebagai Pusat Pembaharuan
Pendidikan disepakati oleh banyak ahli memiliki peran yang besar dalam penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan daya saing yang tinggi. Karena semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula kesempatan untuk meningkatkan daya saing mereka, sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan akan semakin sulit menumbuhkan kemampuan dan daya saing seseorang.
Meluasnya lapangan kerja di sektor idustri dan bisnis, merupakan faktor yang mendorong tumbuh berkembangnya pendidikan , karena kedua faktor tersebut menyaratkan sumberdaya manusia yang terlatih. Di amerika serikat para pengusaha dn industri menguasai pengelolaan pendidikan. Akibatnya pendidikan di Amerika Serikat lebih diartikan sebagai tempat mencetak tenaga kerja yang berdaya saing daripada  sebagai pusat perubahan peradaban. Sebenarnya pendidikan bukan hanya sebagai alat untuk membentuk Sumberdaya manusia yang tinggi tetapi uga untuk menentukan terjadinya berbagai perubahan sosial. Sebagaimana catatn sejumlah ahli, bahwa pendidikan sangat berperan dalam pembentukan kelas profesional. Masalah tentang pendidikan di Indonesia memunculkan pandangan kritis yaitu mengenai pengelolaan pendidikan.
Pandangan kritis  lain tentang pendidikan di indonesia adalah dialamatkan tentang kurangnya investasi yang ditanam. Investasi dibidang pendidikan jauh lebih rendah dibanding investasi di dalam pembentukan modal fisik. Investasi
Alokasi pengeluaran pemerintah pusat untuk pendidikan
no
Negara
% dari PNB
% dari APBN
1
INDONESIA
2,15
10,10
2
MALAYSIA
6,07
21,12
3
FILIPINA
2,68
17,09
4
SINGAPURA
4,43
19,00
5
KOREA SELATAN
2,93
19,02
6
MUANGTHAI
3,15
19,26

dengan membaca angka investasi di bidang pendidikan di sejumlah negara jiran tersebut, wajar jika kemudian mereka memiliki daya saing yang tinggi Sumberdaya manusia. Negara taiwan maju dalam hal industri sebabkan karena sumberdaya manusianya.
Menurut Zymelman (1980) penduduk taiwan dikenal paling tinggi tingkat literasinya di Asi setelah jepang. Investasi yang tinggi dalm pendidikan dan sumberdaya manusia berperan besar dalam mendukung proses indrustrialisasi dan modernisasi Taiwan, yang kemudia di ikuti dengan pengembangan pendidikan teknik secara masal.
Dari situ sekaligus ditemukan jawaban mengapa sejumlah negar tetangga lebih berhasil mengembangkan diri-terutama dalam mengembangakan masyarakat ekonomi yang berbasis indusri. Daya tahan dan kemampuan mereka memecahkan krisis tersebut salah satu diantaranya disebabkan karena cara mereka mempersiapkan faktor SDM dengan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap sektor pendidikan.
2. Sekolah Dalam Mengantisipasi Perubahan
            Perubahan, kata Senge (1990) merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakan, karena ia melekat, built in dalam proses pengembangan masyarakat. Perubahan terjadi begitu cepat dan luas, termasuk mengubah dasar-dasar asumsi dan paradigma memandang perubahan. Oleh karena itu kerangka sustainabilitas pendidikan, harus diletakkan dalam kerangka perubahan yang luas tersebut. Dari kerangka sustainabilitas inovasi tersebut di atas, di tempatkan nilai-nilai sekolah di tengah tarikan antara kondisi internal dan kondisi eksternal. Nilai-nilai sekolah haruslah bersikap aspiratif dalam proses pertumbuhan dari masa sekarang menuju depan dengan nilai-nilai, visi, missi dan strategi serta program yang jelas.
Pada masa sekarang pada sisi internal sekolah haruslah melakukan upaya membangun sistem kelembagaan yang efisien. Secara eksternal, sekolah haruslah  memperhitungkan reputasi dan legitimasi di mata masyarakat, dengan asumsi. Dukungan masyarakat adalah modal yang berharga bagi pengembangan dunia pendidikan.
Perlu dicatat bahwa perubahan itu sendiri, justru merupakan sumbangan dari proses pendidikan, baik langsung atau tidak langsung, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan faktor-faktor lain seperti faktor sosial, ekomoni, agama, maupun politik. Pendidikan memberikan jalan efektif dalam membangun dan mempercepat perubahan. Sebaliknya arah, isi, tujuan, strategi, juga pemasaran pendidikan kemudian dipengaruhi oleh perubahan sosial.
3. Masyarakat berbasis pengetahuan sebagai jalur pertumbuhan
            Perubahan jalur pertumbuhan itu lebih diakibatkan karena terjadi ledakan ilmu pengetahuan. Pengetahuan menjadi begtu menyebar ke seluruh sendi kehidupan, sehingga sekarang kita berada di sebuah era yang disebut dengan “Masyarakat berbasis pengetahuan,” (Knowledge besed Society). Dalam masyarakat seperti ini, semua tindakan didasarkan pada hasil kerja ilmu pengetahuan, sehingga tidak heran apabila yang terjadi adalah (brain war). Peningkatan pengetahuan berjalan seiring dengan kebutuhan akan penelitian dan pengembangan (Research and Development). Oleh karena itu , tak pelak, Negara-negara maju adalah Negara yang didalamnya tumbuh pegetahuan seiring dengan pertumbuhan yang memadai dalam penyelenggeraan R&D.

“Pengaruh Mesin terhadap definisi Aktifitas dalam Peran Sosial”
Pertumbuhan pengetahuan:
1.       Peningkatan R&D
2.       Peningkatan Pendidikan
3.       Peningkatan Manufaktur yang Fleksibel
Dampak Pekerjaan:
1.        Teamwork dan job kompleks
2.        Pemecahan masalah per kelompok
3.        Perubahan cepat dalam kontent
Pemecahan Fungsional:
1.       Pribadi dan pemikiran Kompleks
2.       Pemikiran kreatif
3.       Fleksibel dan adaptif
Dampak kelembagaan:
1.       Format institusi baru
2.       Perubahan nilai-nilai customer
3.       Differensiasi market
 











Gmbr: Diolah oleh dari Lawrence Lorch (1967) kutip Huge dan Power, 1992:56)

            Dalam hal ini bias digambarkan Negara-negara yang memberikan perhatian terhadap R&D adalah Negara yang memiliki pertumbuhan tinggi dengan Teknologi dan Indutri yang maju. Dalam jalur pertumbuhan yang didasarkan pada pengetahuan, maka nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat adalah nilai-nilai yang didasarkan kepada hasil kerja ilmu pengetahuan.
            Para pemerhati dan penentu kebijakan memasuki kata sepakat untuk mengubah manajemen pendidikan yang awalnya Sentralistik menjadi Desentralistik, yang artinya pihak sekolah juga diberi wewenang dalam mengembangkan kurikulum yang dulunya hanya berpusat pada pemerintah.
            Dalam perkembanganya institusi pendidikan mengerahkan kemampuanya dalam meningkatkan kualitasnya dengan pengembangan institusinya. Pengelola pendidikan kemudian juga harus melengkapi syarat kewirausahaan, hal ini dikarenakan agar menjamin kelangsungan proses belajar mengajar di sekolah dengan jalur pertumbuhan yang sesuai dengan jalur pertumbuhan yang berkembang saat ini.
            Aspek lain dalam manajemen pendidikan yang selama ini kurang diterapkan adalah Parental Involvement, yang sebenarnya hal tersebut memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
a.      Membantu menerapkan dan merencanakan program pembelajaran
b.      Memberi rujukan tentang strategi pembelajaran
c.      Dan memberikan evaluasi
Kesimpulan
            Guna terciptanya manajemen yang baik di dunia pendidikan, Indonesia tidak mungkin dikelola dengan asumsi Monokultur, karena persatuan akan dapat diciptakan dengan Asumsi Unity in Diversity, dan guna mewujudkan tradisi Unity in Diversity haruslah diterpkan dengan pendekatan Praxis, karena dengan begitu pendidikan akan dapat menghasilkan outcome yang maksimal.

DAFTAR RUJUKAN
Maliki, Zainuddin. SOSIOLOGI PENDIDIKAN.2010. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.


0 komentar:

Posting Komentar