PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL
A.
PERSPEKTIF
STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN PENDIDIKAN
Para penganut pandangan structural
fungsional percaya bahwa pendidikan dapat digunakan sebagai jembatan untuk
menciptakan tertib sosial. Pendidikan dijadikan sebagai media sosialisasi
kepada generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan, perubahan perilaku dan
penguasaan tata nilai yang diperlukan sebagai anggota masyarakat.
Auguste Comte (1798-1857) yang
dikenal sebagai bapak sosiologi yang memelopori filsafat positivistic,
berpendapat bahwa pengetahuan dan masyarakat dalam proses transisi secara
evolusi. Tugas sosiologi disini untuk memahami faktor-faktor yang diperlukan
dalam evolusi masyarakat. Semuanya itu nantinya bertujuan untuk menciptakan
tertib sosial yang baru. Pendidikan lah yang digunakan sebagai tempat untuk
mengembangkan tradisi pengetahuan positivistic,
sehingga siswa dapat berpikir positive
sehingga segala sesuatu dapat dijelaskan dengan sebab-akibat.
Evolusi tertib sosial melalui tiga
tahap yaitu; tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ilmiah. Comte percaya
bahwa masyarakat selalu tumbuh melalui tiga tahap sesuai dengan tingkat
kompleksitas masyarakat.
Namun dalam perkembangannya
perspektif structural fungsionalis mengalami kemerosotan. Colomny (1990) menyimpulkan
bahwa teori fungsional telah berubah menjadi tradisi.
B.
KONTEKS
SOSIAL
Kemuculan teori struktural
fungsional dilatar belakangi oleh perkembangan masyarakat yang dipengaruhi oleh
semangat Renaissance. Awalnya
masyarakat beranggapan, bahwa manusia tidak memiliki otoritas untuk menjelaskan
fenoma yang terjadi di sekitarnya karena semua telah ditentukan oleh Tuhan.
Pandangan ini lalu menjadi perdebatan, mereka beranggapan aturan yang dibuat
oleh Tuhan tidak untuk selamany, yang berarti ada celah untuk manusia dapat
mengolahnya. Lalu renaissance
memunculkan berbagai temuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang
pendidikan lalu muncul pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perubahan yang terjadi ini
menimbulkan perubahan pada pola pikir masyarakat. Pertama, perubahan pada formasi sosial yang saat itu berupa
revolusi politik. Sebelumnya bangsawan gereja yang medominasi system politik
lalu posisi mereka digantikan oleh para pemiliki alat-alat produksi. Kedua, perubahan pada tatanan nilai yang
mempengaruhi masyarakt dalam memahami realitas kehidupan. Banyak nilai-nilai
yang telah dulunya dijadikan patokan dalam hidup mulai ditinggalkan. Muncul
berbagai peristiwa yang membuat situasi kacau (chaos). Menghadapi situasi yang kacau, ada berbagai tanggapan
masyarakat. Ada yang beranggapan untuk kembali ke tatanan nilai sebelumnya
namun ada yang beranggapan bahwa untuk kembali ke tatanan nilai sebelumnya
tidak mungkin. Yang diperlukan saat itu adalah membangun landasan baru yang
dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Pikiran melihat ke depan tersebut
dikembangkan oleh Saint Simon (1760-1825). Mereka mendorong agar pendidikan
dapat melahirkan generasi yang dapat membantu memecahkan masalah dan
menciptakan keharmonisasian hidup.
Maka, teori structural fungsional
mewarnai munculnya revolusi pengetahuan. Dalam mengembangkan argumennya teori
ini mengambil dari teori organis sistematik yang berasal dari beberapa aliran,
yaitu;
1.
Naturalisme yang
berpandangan bahwa semua yang terjadi di dunia ini pasti ada sebabnya. Aliran
ini berpengaruh dalam metodologi masalah sosial. Aliran ini juga merubah pola
pikir yang awalnya semua dikembalikan kepada kekuatan suprantural.
2.
Rasionalisme yang
berpendapat bahwa manusia mempunyai akal untuk menjelaskan sebab-akibat.
3.
Positivism/empirisme
yang berpendapat bahwa segala sesuatu dapat diobservasi dan diukur secara
empiris. Aliran ini banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu alam.
4.
Evolusi sosial yang
berpendapat bahwa ada proses yang mendorong terjadinya perubahan yang bersifat
evolusioner.
5.
Social
reform yang berpendapat bahwa ada perubahan
kea arah yang lebih baik dan progress.
6.
Konformisme yang
berpendapat bahwa setiap individu dalam masyarakat akan menyesuaikan kehendak
umum/sosial. Pandangan ini muncul akibat pengandaian terhadap konformitas
bagian-bagian tubuh terhadap susunan organisme.
Asumsi yang mendorong teori
structural fungsional yang lebih menekankan pada keharmonisan, yaitu;
a. Masyarakat
harus dilihat sebagai suatu system yang kompleks yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan
b. Setiap
bagian dalam masyarakat memiliki perannya masing-masing untuk menjaga
keeksistensian masyarakat.
c. Semua
masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri, dan system sosial
akan berproses ke a ah tersebut.
d. Perubahan
dalam system sosial terjadi secara gradual
e. Faktor
yang menentukan keberhasilan integrasi dalam masyarakat adalah adanya
kesepakatan pada anggota-anggota masyarakat terhadap nilai-nilai dalam
masyarakat.
f. Masyarakat
cenderung mengarah pada keadaan ekuilibrum
atau homeostatic.
Dari beberapa asumsi yang diungkapkan dari teori
fungsional structural tersebut, ada implikasi yang muncul yaitu menempatkan
pendidikan sebagia institusi sosial. Yang bersama dengan institusi lain
menjalankan peran demi tercapainya ekuilibrum. Pendidikan harus dapat memberi
sumbangan yang dapat mengintegrasikan diri dalam perubahan yang terjadi pada
masyarakat.
Para eksponen teori structural fungsional mendorong
perkembangan sosiologi regulasi dalam semua tahap, dengan mengarahkan kepada
upaya untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa sosial secara rasional dan empirik.
Dalam realitasnya para eksponen lebih mengedepankan komitmen terhadap rekayasa
sosial yang dimulai oleh elite lalu disebarkan pada masyarakat.
Rekayasa elite pun juga berkembang dalam dunia
pendidikan. Kebijakan, kurikulum, pengembangan sumber daya dan prasarana
dikendalikan secara terpusat oleh elite. Pendidikan dijadikan media untuk
sosialisasi niali-nilai kolektif. Pada tingkat mikro proses pembelajaran
menggunakan pendekatan behavioristik. Selain itu pengetahuan dan pengalaman
yang ingin diberikan kepada siswa bukanlah yang antagonis, sehingga siswa
mempunyai bekal untuk mengadopsinya dalam system sosial masyarakat.
C. PERTANYAAN YANG DI
AJUKAN
Pendidikan dalam presperktif fungsional harus
dikembangkan berdasarkan proporsi berikut. Pertama, susunan individu. Kedua,
abstraksi dari individu. Ketiga fenomena social hanya memiliki realitas dalam
individu. Keempat, mengetahui perilaku individu. Kelima, mengamalkan
nilai-nilai yang ada di dalmnya.
Kajian sosiologi pendidikan dari prespektif
fungsional difokuskan kepada pendidikan sebagai realitas social, pendidikan dan
struktur social, pendidikan sebagai pranata social, hubungan pendidikan sebagai
pranata social dengan pranata-pranata social yang lain. fakta social disini dimaksudkan
ke dalam kenyataan empiris. Di dalam dunia pendidikan terdapat fakta social
yang saling berjkaitan satu sama lain. selain ketergantungan mereka bukan pda
tataran individu melainkan pada level entitas atau kelompok. Contoh entitas
guru, kepala sekolah, komite sekolah, entitas siswa atau orang tua dan
seterusnya.
Menurut emile Durkheim fakta social dibedakan
menjadi dua , yakni : material dan non-material. Material yang merupakan semua
yang dapat dilihat seperti komite sekolah , organisasi wali murid, dan lain
lain. biasanya berbentuk komponen perubahan morfologi masyarakat. Sedangkan
yang bersifat non-material sesuatu yang dianggap nyata namun masih abstrak
seperti, kesadaran solidaritas, moralitas dan lain-lain.
Implikasi menurut Durkheim ini diimplikasikan untuk
membaca pendidikan dan didasarkan untuk menciptakan titik ekuilibrium pada
dunia pendidikan. Sebagai dasar dari penciptaan ekuilibrium tidak boleh
mengunakan kekrasan dan paksaan. Bila melalui hal tersebut sistem tersebut
terjadi ketegangan yang akan mengalami disfungsi. Keberadaan perilaku menympang
dalam sebuah sistem, dipandang sebagi bagian dari keberlang sungan dalam sebuah
sistem.
D. UNIT ANALISIS
STRUKTURAL FUNGSIONAL
Fakta social ini terutama memfokuskan perhatian
terhadap analisa pada level makro obyektif. Studi makro dalam sosiologi
pendidikan antara lain berkaitan dengan kajian terhadap pendidikan dan
interelasinya dengan struktur social, institusi masyarakat dan hubungannya
dengan shukum, birokrasi, arsitektur, teknologi juga bahasa. Dalam sosiologi
pendidikan membahas dalam ranah makro subjektif seperti masalah budaya sekolah
dan masyarakat, terutama akibat pengaruh dari faktor-faktor structural seperti
perkembangan teknologi, sistem politik, pemerintahan, ekonomi dan lain-lain yang
semuanya itu akan membentuk ekuilibrium dan mekanisme consensus. Yang akan
menjadikan tumbuhnya kesadaran integrasi social dan menghindarkan adanya
disintegrasi social
Oleh karena itu cakupan bersekala makro , tujuan
analisisnya adalah mencari hukum-hukum universal dan bukan menelusuri keunikan
dari sebuah fenomena. Teori structural fungsional lebih terpusat pada kelompok
dan sistem social sebagai unit analisis. Sekolah sebagai institusi, sistem dan
kelompok kependidikan sebagau unit analisis. Tidak digunakan untuk tujuan
memahami kesadaran individu melainkan untuk kepentingan semua orang yang berada
dalam institusi, sistem dan dimana pendidikan diselengarakan
E. METODOLOGI YANG
DIPAKAI
Teori
fungsional adalah faham positivism yang berasumsi sesuatu dapat diobservasikan dan diukur
secara empiris (aliran ini di pengaruhi oleh ilmu-ilmu dalam dan eksak). mereka
berpendapat bahwa fakta sosial bersifat objektif yang efeknya dapat
diobservasi. Dan bukan sebagai tujuan praksis. Analisa teri funsional bertujuan
untuk menmukan hukum-hukum universal dan bukan mencari keunikan. Dengan
demikian teori fungsional berhadapan dengan cakupan populasi yang sangat luas,
sehingga tidak mungkin untuk mengambil secara keseluruhan sebagai sumber data.
Untuk menkaji secara realitas universal dapat diambil sejumlah sampel yang
mewakili. Dengan kata lain keterwkilan menjadi sangat penting.
Kajian
fungsional menekankan upaya menemukan hubungan kausal dan korelasi antar
fenomena, maka metode penelitian ini mengarah kepada pemekaian tehnik
kuantitatif. Dengan sendirinya, metode survey lebih memungkinkan penelitian
mencari penjelasan korelasi antar fenomena, dan juga metode eksperimen menjadi
penguji hubungan kausalitas antar fenomena. Kedua metode tersebut menjadi
popular di mata para eksponen teori structural fungsional.
Dalam
penelitian survey maupun eksperimen, penelitian yang beroperasidalam ranah
pengetahuan nomotetik ini akan merasa sangat terbantu dengan dukungan simulasi
computer. Teknik reduksi data, pembuatan sekala, dan analisa static. Hal itu
sangat sangat diperlukan dalam penelitian kuantitatif baik dari survey maupun
eksperimen yang menghendaki pengukuran yang tepat. Dapat mengarah kepada temuan
yang memiliki validasi eksternal maupun internal, akurasi dan tingkat konstan nilai
atau nilai reabilitas yang tinggi. Teknis ini dilkukan dengan menentukan
hipotesis terlebih dahulu, jika hal itu dilakukan dilakukan dengan baik, maka
penelitian structural funsional akan dapat melakukan verivikasi data ked an
dari lapangan.
F. TOKOH PERSPEKTIF
FUNGSIONAL
1. AUGUSTE COMTE
Beliau lahir tahun 1798mdi Kota Monpellier Perancis
Selatan. Selama dua tahun, dari 1814 hingga 1816 Comte belajar di Sekolah
Politeknik di Paris. Tahun 1817 diangkat menjadi sekretaris Saint Simon,
seorang pemikir yang dalam merespon dampak negatif reinaissance menolak untuk
kembali ke abad tengah, melainkan justru harus harus direspon dengan membangun
basis intelektual baru, yakni berfikir empirik dalam mengkaji persoalan
realitas sosial. Pemisahan diri dengan Saint Simon terjadi manakala Comte
kemudian menerbitkan buku “ Sistem Politik Positif,” tahun 1824. Pada tahun
1830 seri “ Filsafat Positif” yang ia susun diterbitkan, dan kemudian menyusul
seri-seri berikutnya sampai dengan tahun 1842. Karena itulah Comte kemudian
dianggap pertama kali memakai istilah Sosiologi meski ada yang berpendapat
lain, misal Eriksson yang berpandangan bahwa yang sesungguhnya lebih tepat
menjadi sumber awal sosiologi adalah tokoh semacam Adam Smith atau pada umumnya
kaum Moralis Scottish.
a.
Hukum Evolusi Tiga
Tahap.
Dalam
memahami krisis Comte berpendapat bahwa harus melalui pedoman-pedoman berfikir
Ilmiah. Ia juga banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial Encyclopedist Perancis,
aliran reaksioner dan sosialistik. Kemudian ia dikenal sebagai pencetus
perspektif pengetahuan positivisme atau filsafat positivistik sebagai bentuk
perlawanan terhadap filsafat dan cara berfikir yang melandai para filosof
pencerahan. Comte berada dalam posisi yang sejalan dengan gerakan antirevolusi
kaum Katolik terutama dari de Bonald dan de Maistre. Dua hal yang dapat dicatat
dalam hal ini ialah, pertama ia tidak mempunyai bayangan untuk berfikir kembali
ke abad pertengahan, karena perkembangan industri dan pengetahuan jelas tidak
memungkinkan hal itu, kedua ia mengembangkan sistem teoritikal yang menarik
ketimbang para pendahulunya sehingga lebih memadai sebagai dasar pijakan
pemikiran awal sosiologi. Sebagai wujud perlawanannya terhadap filsafat negatif
yang mendasari pencerahan dan revolusi Perancis, Comte secara tegas menolak
perubahan revolusioner. Dia menganjurkan perubahan evolusi. Reformasi memang
dibutuhkan sejauh membantu proses evolusi itu sendiri.
Teori evolusi ini
kemudian yang mendorong lahirnya hukum tiga tahap perkembangan.
1. Tahap
Teologis
Tahap ini masyarakat percaya akan kekuatan supranatural dan agama
diatas segala-galanya. Dunia fisik maupun sosial dipandang sebagai produk
Tuhan. Bentuk-bentuk pemikiran tahap awal perkembangan atau evolusi manusia ini
antara lain adalah fetishisme dan animisme.
2. Tahap
Metafisika
Tahap ini
masyarakat berkeyakinan bahwa kekuatan abstrak dan bukan personifikasi Tuhan
adalah sumber kekuatan fisik maupun sosial. Menurut Comte cara berfikir
metafisik ini sebenarnya adalah pergantian nama saja dari car berfikir
teologis. Baginya cara berfikir manusia harus keluar dari tradisi teologis
maupun metafisik untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai
sarana mencari kebenaran.
3. Tahap
Positif
Masyarakat mempercayai
pengetahuan ilmiah, dan manusia berkonsentrasi pada kegiatan observasi untuk
menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial. Dalam tahap inilah pemikiran
positivistik, empirik dan naturalistik menggantikan otoritas pengetahuan
teologis serta pengetahuan metafisis.
Hukum tiga tahap yang
diperkenalkannya tidak saja mengesankan dia sebagai teoritis yang optimi,
tetapi juga terkesan linear seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan
batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya untuk kemudian bermuara pada
tujuan akhir yang final yang digambarkan berwujud masyarakat positivistik.
2. HERBERT SPENCER
Herbert Spencer lahir di kota kecil
Derby Inggris tahun 1820. Specer memperjuangkan konsep dan metode penafsiran
alami dan ilmiah menggantikan mode penafsiran agama. Dia menyambut positif
filsafat positivismenya Comte, empirisnya Fracis Bacon serta John Locke, serta
skeptisismenya David Hume yang memperoleh tempat dibenak masyarakat Inggris
saat itu.
a. Filsafat
yang Mempengaruhi
Spencer banyak
dipengaruhi karya Darwin, melalui karyanya Origin of spiciec. Spencer ialah orang yang menemukan
prinsip-prinsip Darwinisme. Dia menerima gagasan Darwin mengenai seleksi
alamiah sebagai kunci dari mekanisme evolusi, meski dalam perkembangannya ia
melengkapi dengan pandangan Lamarckian.
Spencer adalah
pengagum Malthus namun tidak semua setuju dengan jalan pikirannya. Dia juga
dipengaruhi filsafat laisses faire dari Adam Smith,dan juga membaca filsafat
karya temannya sendiri John Stuart Mill, serta Sir William Hamilton.
b. Dimensi
Teoritik
Dimensi teori
yang menjadi perhatian Spencer antara lain meliputi
pertumbuhan,struktur,diferenisiasi, tipe-tipe sosial, evolusi linier dan
multilinier, individualisme dan organisme, good society, analisa obyektif dan
lain sebagainya. Yang dimaksud diferensiasi oleh Spencer adalah saling ketergantungan
setiap bagian dari sistem sebagai akibat dari meningkatnya perkembangan
masyarakat. Konsep evolusi menurut Spencer mirip apa yang di kemudian hari
dikembangkan oleh Durkheim, dalam tulisannya The Division of labor in Society,
sebuah teori yang dipengaruhi oleh pandangan para fungsionalis. Namun demikian
Spencer berbeda dengan durkheim. Tidak seperti Spencer Durkheim tidak
memfokuskan kepada prasyarat inheren dari diferensiasi sosial, lalu menekankan
bahwa fakta sosial merupakan subyek yang tepat bagi kajian sosiologi, sementara
spencer justru mereduksi ke dalam faktor psikologis sebagai penyebab dari
perubahan sosial.
Pandangan
spencer cenderung bercorak individualistik, berbeda dengan Comte yang
antarindividualistik dalam pengertian individu tidak lebih merupakan
subordinasi masyarakat. Spencer menolak mode pnejelasan masyarakat sebagai
sebuah benda atau entitas. Sebagai organisme, masyarakat menurut Spencer tumbuh
sebagaiman perkembangan organisme dan dalam hal ini melalui empat tahap, yaitu
tahap pertambahan, tahap kompleksifikasi, tahap diferensiasi dan tahap
integrasi. Tahap pertambahan atau penggandaan adalah masyarakat sebagai
organisme yang hidup tumbuh sepanjang kehidupan mereka. Tahap kompleksifikasi
adalah masyarakat berkembang dalam ukuran maupun dalam strukturnya secara
berlipat ganda dan secara simultan semakin kompleks. Tahap diferensiasi ialah
suatu tahap dimana perkembangan semua organisme akan menonjolka perbedaan dalam
masing-masing bagian baik dalam struktur maupun fungsinya. Tahap Integrasi
ialah diferensiasi akan disertai dengan kecenderungan untuk berintegrasi,
meskipun berjalan secara lamban dan mungkin dalam level yang relatif sederhana.
3. CHARLES DARWIN
(1809-1882)
Charles Darwin dilahirkan di
Shrewsbury, Inggris dari keluarga kaya. Ia menempuh pendidikan di Universitas
Cambridge. Saat membaca tulisan Malthus mengenai penduduk, Ia mendapatkan
jawaban seleksi alam atas dasar perjuangan hidup dan survival of the fittest di dunia reproduksi binatang yang
sebenarnya jauh dari akibat-akibat yang diinginkan bagi kelangsungan beberapa
spesies.
Ada tiga dimensi
teoritik dari Evolusionisme Darwin yang meliputi:
1. Darwin
sampai pada pembuktian bahwa makhluk organis tidak dijadikan serentak menurut
jenisnya masing-masing. Terjadinya macam-macam jenis merupakan hasil dari
adaptasi, perubahan dan evolusi yang terjadi dalam waktu yang lama.
2. Evolusi
bukan pelaksanaan tujuan, melainkan adaptasi kepada lingkungan.
3. Proses
evolusi berlangsung melalui empat konsep yaitu struggle for life, survival of the fittest, natural selection dan progress.
Gagasan
Darwin tentang evolusi organisme menggambarkan proses linear dari perjuangan
hidup yang keras menuju ketahanan melawan serangan yang berasal dari luar.
Organisme yang tidak tahan akan “kalah” yang ditentukan oleh alam dalam seleksi
alam. Dan organisme yang “berhasil” lolos dari seleksi alam akan mengalami
kemajuan.
Dari
gagasan tersebut, evolusi biologis kemudian mengilhami munculnya teori
Darwinisme Sosial yang didasarkan pada anggapan seleksi alam dan ketahanan
melawan serangan dari luar. Veeger mencatat bahwa teori Darwinisme Sosial ini
terdiri dari empat kelas, yaitu :
a.
Teori
Naluri
Teori ini menyatakan bahwa masyarakat di
dalamnya memuat kecenderungan biologis dari dalam diri manusia yaitu naluri
social yang disebut herd instinct atau
gregarious instinct. Salah satu
eksponen dari teori ini adalah Vilfredo
Trotter. Dalam kajiannya diketahui bahwa naluri berkelompok itu ada pada diri
manusia yang mendorongnya untuk menyukai dan mengakui teman-teman sesame. Hal
ini terjadi karena manusia membutuhkan kehadiran orang lain.
Dari kajian itu dapat disimpulkan
bahwa manusia merupakan makhluk budaya, bukan semata-mata karena dorongan
sosialitas manusia. Sehinga perilaku manusia tidak lagi sekedar sebagai spesies
yang berevolusi secara biologis saja, melainkan berevolusi secara kultural.
b.
Teori
Ras
Ajaran polygenetisme nampaknya mempengaruhi pikiran Darwin. Polygenetisme mengajarkan bahwa
asal-usul manusia bukan dari pasangan tunggal (monogenetisme) melainkan dari pasangan gene yang plural dan berbeda-beda sehingga penuh dengan keragaman
dan bentuk genetic. Sebagai teoritisi Darwinisme Sosial, Ludwig Gumplowicz
(1838-1909) mengambil konsep Darwin dengan apa yang disebut sebagai teori Struggle for life. Dari situ dapat
diketahui bahwa mereka yang kuatlah yang akhirnya keluar sebagai pemenang.
c.
Teori
Determinisme
Teori
ini bertumpu pada faktor tunggal sebagai penyebab perubahan. Frederick Le Play
(1806-1882) memakai perspektif ini untuk melihat adat dan nilai-nilai budaya
tradisional dalam proses pembentukan tertib sosial. Keadaan keluarga menurut Le
Play dipengaruhi oleh lingkungan dan pekerjaan yang pada akhirnya mempengaruhi
pola relasi keluarga. Teori Le Play ini disamping menunjukkan determinisme
faktor stuktural juga terasa diwarnai oleh etnosentrisme. Karena Ia beranggapan
bahwa masyarakat Barat memiliki keunggulan.
4. EMILE DURKHEIM
Durkheim adalah seorang tokoh yang sering disebut sebagai
eksemplar dari lahirnya teori fungsionalisme stuktural. Ia adalah sosiolog
Perancis pertama yang menempuh jenjang ilmu sosiologi paling akademis. Ia
memutuskan untuk menjadi sosiolog karena ingin membantu rekontitusi moral
masyerakat. Pikiran Durkheim sangat berpengaruh tidak hanya dalam perkembangan
sosiologi, tetapi juga melebar ke bidang-bidang lain. Ia juga dikenal sebagai
tokoh konservatif.
a. Subyek Sosiologi
Durkheim
mengatakan bahwa subyek sosiologi adalah “fakta social”. Fakta social disini
haruslah bersifat eksternal, koersif dan menyebar karena bagaimanapun kenyataannya
di setiap masyarakat jelas terdapat sekumpulan fenomena yang berfungsi sebagai
suatu yang menentukan dan terpisah di luar individu. Fakta social yang demikian
adalah suatu kenyataan yang memiliki karakteristik khusus, yakni mengandung
tata cara bertindak, berpikir dan merasakan yang bersifat di luar individu yang
ditanamkan dengan kekuatan koersif.
Durkheim
membedakan dua jenis fakta social yaitu fakta social material dan non-material.
Fakta social material antara lain masyarakat, komponen stuktur masyarakat dan
juga komponen morphologi masyarakat. Jadi fakta social material merupakan
sesuatu yang riil. Sedangkan fakta social non material adalah norma, niai
social, kesadaran kolektif, representasi kolektif, peristiwa social dan budaya
pada umumnya.
Menurut
Durkheim, fakta social tidak dapat direduksi menjadi fakta individu karena ia
memiliki eksistensi yang independen di tingkat social. Sehingga fakta social
memang merupakan kumpulan fakta-fakta individu tetapi kemudian diungkapkan
dalam suatu angka social misalnya angka kelulusan, angka perkawinan, angka
kelahiran, dll. Dengan demikian angka-angka itu bukan menggambarkan angka diri
sendiri melainkan representasi dari pluralitas masyarakat.
b. Dimensi-dimensi
Teoritik
Dimensi-dimensi yang diungkap Durkheim
dapat ditelusuri melalui kajiannya terhadap elemen pembentuk kohesi social atau
solidaritas social, pembagian kerja dalam masyarakat, implikasi formasi social
baru yang melahirkan gejala anomie, perkembangan masyarakat dan bunuh diri,
agama dan pendidikan, nilai-nilai kolektif.
1)
Fungsi Pendidikan
Pendidikan adalah bagian yang
penting untuk menjaga keberlangsungan dalam masyarakat . Durkheim merupakan
orang pertama yang mengajukan agar sosiologi dijadikan sebagai pendekatan dalam
bidang pendidikan. Durkheim menggambarkan generasi muda yang memerlukan bantuan
pendidikan untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan di tengah masyarakat
yang memiliki tata nilai tertentu. Hal ini penting karena pemuda pada dasarnya
belum siap memasuki kehidupan masyarakat.
Pendidikan dipersepsikan Durkheim
sebagai satu kasatuan yang utuh dari masyarakat secara keseluruhan. Karena
pendidikan menentukan proses alokasi dan distribusi sumber-sumber perubahan.
Sehingga diperlukan kebijakan untuk menetapkan prioritasnya. Dalam menata
perencanaan pendidikan menurut Durkheim harus diorientasikan kepada pengupayaan
modal dasar manusia. Pendidikan yang demikian dipandang sebagai sebuah
investasi. berikut ini adalahimplikasi perspektif teoritik Durkheim terhadap
pendidikan.
Teori
|
Masyarakat
|
Pendidikan
|
Prioritas
Kebijakan
|
Strategi
Perencanaan
|
Fungsionalisme
Durkheim
|
· Integrasi institusi social
· Tertib
social berdasarkan consensus
· Homeostatic, mencari
keseimbangan antar institusi
|
· Pendidikan
kesatuan utuh dengan institusi lain
· Fungsi
sosialisasi
· Fungsi
seleksi dan alokasi
· Penciptaan
pengetahuan baru
· Fungsi
Babysitting
|
· Peluang
sama, mento cracy semua bisa
mengembangkan potensi
· Memaksimalkan
bakat
· Mendekatkan
pendidikan dengan sector masyarakat lain
|
· Sistem
pendidikan selektif
· Human capital
· Pendidikan
sebagai investasi
· Hindari
kendala mobilitas social
· Pembelajaran
berbasis bank concept
|
2)
Pendidikan dan
Pembagian Kerja
Dalam analisisnya terhadap pembagian
kerja masyarakat, Durkheim banyak dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert
Spencer yang menggunakan analogi biologis. Pendidikan merupakan bagian dari
masyarakat dan berhubungan dengan institusi yang lain. Durkheim memandang
pendidikan harus bisa menjalankan fungsi baby
sitting yang artinya pendidikan bisa memelihara dan mencegah generasi muda
dari patologi social.
Tugas pendidikan di masyarakat
organic harus bisa mengantar siswa menentukan pekerjaan, karena pekerjaan
merupakan soal pilihan. Pendidikan harus memberikan skill dan spesialisasi
karena status yang ada di masyarakat tergantung pada spesialisasi yang
dimiliki. Pendidikan juga harus memberikan standar keterampilan minimum yang
dibutuhkan untuk bisa hadir di tengah masyarakat. Pendidikan harus mengajarkan
solidaritas organic karena mekanisme yang cocok untuk mengatur tertib masyarakat
adalah solidaritas organic.
berikut adalah dua ideal tipe
masyarakat menurut Durkheim dan implikasinya:
Penanda
|
Solidaritas Mekanik
|
Solidaritas Organik
|
Masyarakat
|
Tradisional
|
Modern
|
Pembagian
kerja
|
Rendah,
Generalisasi
|
Spesialisasi
|
Sifat
hukum
|
Represif
|
Restuitif
|
Kesadaran
kolektif
|
Tinggi
|
Rendah
|
Aksentuasi
|
Persamaan
Kolektif
|
Perbedaan
Individu
|
3)
Pendidikan dan Kesadarn
Kolektif
Nilai-nilai yang dikembangkan di
sekolah tiada lain adalah konsekuensi dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Mereka yang lebih tua menanamkan nilai-nilai teladan kepada mereka yang muda
agar mereka siap secara fisik dan mental untuk memasuki dunia masyarakat yang
lebih luas.
Dalam konsep Durkheim, perubahan
solidaritas mekanik di sekolah menjadi mode solidaritas organic hal ini karena
hasil dorongan dari praktek mode solidaritas organic yang terjadi di
masyarakat. Kesadaran kolektif adalah nilai-nilai kemasyarakatan yang merupakan
consensus masyarakat untuk mengatur hubugan social diantara anggota masyarakat
yang bersangkutan. Kesadaran kolektif itu bisa berupa aturan moral, aturan
agama, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, guru harus menyadari
otoritasnya karena guru merupakan pengemban nilai-nilai kolektif dan pemegang
tanggung jawab untuk menstranformasikan kepada siswanya.
4)
Kekuatan dan Kelemahan
Pandangan Durkheim tentang Pendidikan
Kekuatan pandangan Durkheim tentang
pendidikan adalah:
a.
Memperbaiki metode
berpikir sosiologis berdasarkan pemikiran-pemikiran filosofis menjadi ilmu
pengetahuan yang benar berdasarkan fakta-fakta yang dapat diobservasi
b.
Memberi sumbangan dalam
memperlihatkan pemikiran dengan metodelogi holistic
sedangkan
kelemahan pandangan Durkheim tentang pendidikan adalah:
a.
Adanya pandangan
pesimis yang diterapkan ke dunia pendidikan
b.
Teorinya tidak peka
terhadap munculnya unsur konflik dan kekuasaan dalam hubungan social
c.
Klaim Durkheim yang
menyatakan bahwa ketika pembagian kerja meningkat maka akan meningkatkan
pembagian organisasi pendidikan.
5.
TALCOTT PARSONS
Talcott
Parsons lahir tahun 1902 di Colorado Springs, Ia adalah putera pendeta, sarjana
mudanya mengambil di Kolese Amherst ( 1920-1924), program pasca sarjananya di
London School of Economics (1924), setelah itu ia melanjutkan ke Heidelberg
(1925-1926) dan di situ ia berkenalan dengan Max Weber.
Parsons
dikenal sebagai penggagas structural fungsional yang memfokuskan pada masalah
system tindakan dan system social ini merupakan refleksi dari pengaruh sosiolog
Italia, Vilfredo Pareto, oleh karena itu pertanyaan yang ia ajukan lebih ke
arah membangun, keseimbanganm tertib dan keteraturan social.
Pemikiran
dan gagasannya banyak dipengaruhi oleh Durkheim terutama tentang pandangannya
tentang kesamaan antara manusia dengan organisme hidup, pengaruh ini tampak
saat Parsons menyusun jawaban yang berkaitan dengan tertib social, ia
berargumentasi bahwa tertib social disebabkan oleh 3 hal penting, yaitu,
pertama nilai-nilai budaya yang dibagi bersama, kedua nilai yang dilembagakan
menjadi norma social dan ketiga nilai yang dibatinkan individu menjadi
motivasi-motivasi, melalui bukunya The
Structure of Social Action ia menempatkan individu sebagai unit analisis,
hal ini karena individu memiliki kemauan subyektif yang bersifat voluntaristik.
a.
Variabel
Pola Pengelompokan Sistem Sosial
Parsons mengambil gagasan mengenai hokum
evolusi dalam masyarakat, yang berla ku
juga dalam pembentukan pola tindakan, menurut Parsons masyarakat memiliki dua
alternative terpola, terdiri dari pasangan berbeda yang masing-masing terdiri
atas lima variable :
1. Perasaan
(affectivity) atau netral perasaan (affectivite neutral), dalam hal ini actor
dihadapkan kepada problem penentuan sikap, menghayati fenomena social, seberapa
tingkat emosi, dan perasaan digunakan dalam menghadapi fenomena tertentu
2. Arah
diri (self-orientation) atau arah kolektif (collectivity orientation), dalam
hal ini actor dihadapkan pada pilihan untuk memilih kepentingan diri atau
membagi energinya untuk kepentingan umum.
3. Partikularisme
atau universalisme, dalam hal ini actor dihadapkan apakah harus bertindak atas
dasar prinsip-prinsip umum yang berlaku tanpa pilih kasih atau menjalankan
tindakan karena relasi-relasi khusus
4. Status
bawaan (ascription) atau status prestasi diri (achievement) dalam hal ini
persoalan yang dihadapi adalah berkaitan dengan penentuan sesuatu apakah atas
dasar pembawaan ataukah karena prestasi.
5. Campur
baur (diffuse) atau spesifikasi (specifity), kali ini actor dipersilahkan untuk
memilih memfungsikan dirinya sebagai bagian dari fungsi social tertentu atau
memerankan diri dalam keseluruhan fungsi yang ada dalam masyarakat.
Variable terpola ternyata menggambarkan
kehidupan di masyarakat di satu sisi menggambarkan gemeinschaft atau masyarakat paguyuban dengan tingkat solidaritas
tinggi yang melahirkan semangat komunalisme yang tinggi dan di sisi satunya
menggambarkan gesselschaft atau
masyarakat patembayan dengan mengedepankan individualisme, yang melahirkan
hubungan antar individu yang bersifat impersonal, secara rinci lihat tabel
berikut :
Gemeinschaft
|
Gesselschaft
|
|
a. Affective
neutral
|
|
b. Universalism
|
|
c. Achievement
|
|
d. Collectivity
|
Kendati
Parsons memanfaatkan banyak gagasan Durkheim, namun Parsons memiliki beberapa
kritik seperti, Durkheim hanya melihat masyarakat hanya sebagai system serupa
organism biologi tanpa menjelasakan jaringan-jaringan dan kebutuhan yang ada
dalam system tersebut, Durkheim tidak menjelaskan bagian mana dari masyarakat
yang memiliki fungsi integrasi dan adaptasi untuk mencapai kondisi ekuilibrium.
Menurut Parsons terdapat fungsi dan kebutuhan
tertentu yang dipenuhi oleh setiap system, dalam hal ini ada dua kebutuhan
penting yaitu, pertama kebutuhan system internal yang dibutuhkan ketika
berhubungan dengan lingkungan, yang kedua berhubungan dengan pencapaian sasaran
atau tujuan serta sarana yang perlu untuk mencapai tujuan itu.
Berdasarkan premis tersebut, Parsons
menciptakan empat kebutuhan fungsional yaitu AGIL, yaitu :
1. Adaptation
Kebutuhan
system untuk menjamin apa yang dibutuhkan dari lingkungan serta mendistribusikan
sumber-sumber tersebut kepada system, kebutuhan ini dipenuhi oleh system
ekonomi.
2. Goal
Attainment
Kebutuhan
system untuk menjamin upaya pemenuhan tujuan system serta penerapan prioritas
di antara tujuan-tujuan tersebut, bagian ini dipenuhi oleh system politik.
3. Integration
Sebuah
kebutuhan system yang menjamin berlangsungnya hubungan antar bagian, sehingga
diperlukan prasyarat berupa kesesuaian begian-bagian dari system sehingga
seluruhnya fungsional, dalam hal ini dipenuhi melalui kebutuhan social.
4. Latent
Pattern Maintenance
Kebutuhan
system untuk menjamn kesinambungan tindakandalam system sesuai dengan beberapa
aturan dan norma, hal ini dapat dipenuhi melalui sitem budaya.
Oleh
karena itu, pada level yang paling umum, keempat functional imperatives tersebut selalu dikaitkan dengan empat
system tindakan, yaitu : organisme pelaku (behavioral organism), system
kepribadian (personality system), sistem social (social system) dan system
budaya (cultural system).
Dalam menghubungkan keempat prasyarat
fungsional, Parsons menggunakan konsep cybernetics, yang diambil dari ilmu
alam, genetika, teknik, dan matematika, yang dapat diartikan sebagi umpan balik
proses yang menggambarkan hasil-hasil penampilan, lalu melahirkan modifikasi
yang menentukan penampilan selanjutnya, oleh karena itu diperlukan control agar
tetap dapat mengarah kepencapaian tujuan. Kontrol cybernetics dipakai Parsons
untuk menjelaskan hubungan antar pelbagai system tindakan, dalam hal ini system
tindakan berlangsung berdasar arus informasi system budaya ke system social
kepribadian dan ke organism perilaku, energy yang muncul dalam arus tindakan
dari arah sebaliknya, akhirnya berasal dari organisme perilaku, sehingga kedua
arus saling berlawanan. Parsons tidak sependapat dengan Durkheim yang terlalu
menekankan pada fakta social dan mengabaikan fungsi actor terhadap struktur,
meskipun actor dalam mencapai goal dipengaruhi oleh nilai-nilai dan
norma-norma, namun Parsons masih melihat peluang actor menjadi individu yang
bebas ketika menentukan alternative sarana (means) yang dipakai untuk mencapai
tujuan (goal).
b.
Talcott
Parsons tentang Kelas Belajar
Pada umumnya karya Parsons lebih memfokuskan
kepada masalah system social di masyarakat, namun essaynya tentang “Kelas di
Sekolah sebagai System Social” ia melakukan analisis di kelas, lalu ia
merumuskan definisi dua fungsi penting kelas pembelajaran yakni sebagai alat
sosialisasi dan seleksi, fungsi sosialisasi di sini tentu fokus dari kajian
Durkheim, fungsi sosialisasi dapat dirangkum di sini tentang komitmen dan
kemampuan individu yang digunakan di masa depan. Ketika membahas pandangan Durkheim
itu akan mengacu pada peran yang diambil siswa di masyarakat di masa depan di
sinilah fungsi “seleksi” dimana siswa dari berbagai lapangan pekerjaan atau
jabatan mensosialisasikan pilihannya ke masyarakat.
Menurut Parsons dasar yang dipakai sekolah
untuk menempatkan siswa untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan sekolah adalah
prestasi, pada kelas awal penyelesaian tugas diukur dari moral dan intelektual,
memasuki kelas yang lebih tinggi penyelesaian masalah diukur dari aspek
intelektual, Parsons percaya sekolah memberikan reward berdasarkan prestasi,
Parsons juga berpendapat bahwa dalam masyarakat modern penempatan jabatan
haruslah berdasarkan kemampuan di bidang tersebut, di masyarakat sederhana
menempatan jabatan tidak berdasarkan prestasi, namun di masyarakat industri
penempatannya berdasarkan prestasi.
Tugas pertama sosialisasi adalah sekolah
harus mengajarkan ke siswa bahwa mereka akan dinilai berdasarkan prestasi,
lagipula Parsons percaya telah terjadi kesepakatan umum bahwa dalam menetapkan
ranking atau penghargaan si sekolah atau di masyarakat adalah prestasi, tapi
pemberian reward di kelas secara tidak adil berpotensi untuk menciptakan
kehancuran, namun karena anak-anak sudah menyadari bahwa penilaian terhasap
seseorang berdasarkan prestasi maka masalahnya tinggal memastikan apa penilaian
tersebut telah diberikan secara adil atau tidak, dengan 2 fungsi utama maka sekolah
menjalankan dan menetukan mekanisme proses pembelajaran yang dimana dapat
melahirkan sumberdaya manusia yang memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan
masyarakat dengan tingkat kompleksitas yang dimilikinya.
c.
Kritik
terhadap Parsons
Ganjalan yang amat dirasakan pada
Parsons adalah obsesinya untuk membangun harmoni, tertib, dan integrasi
masyarakat, Dalam dunia pendidikan pandangan Parsons tidak banyak menuai
kritik, namun penjelasan-penjelasan Parsons terasa tidak sisertai dengan bukti
empiric yang luas, Parsons juga mencoba menjawab bahwa teorinya tidak bias
structural dan karenanya ia mencoba menjelaskan tindakan voluntarisme actor, karena
tindakan actor pada hakikatnya adalah refleksi kehendak struktur, Parsons harus
disebut sebagai eksponen yang menyebabkan teori structural fungsional ini memiliki
bobot dan pengaruh yang luas dalam dunia sosiologi.
6.
ROBERT K. MERTON
Merton adalah murid
Talcott Parsons di Universitas Harvard, dan menjadi orang pertama yang
memperoleh gelar Ph.D. Sejak awal tahun 1940an ia bekerja di Columbia University,
Di kalangan ahli sosiologi ia memiliki reputasi tersendiri.
Merton adalah tokoh
dalam tradisi fungsionalisme structural, dengan corak middle range theory yang banyak memakai referansi dari Max Weber,
William I. Thomas, dan Emile Durkheim
Merton juga mengkritik
teori – teori fungsional sebelumnya, termasuk karya gurunya Parsons yang ia
nilai terlalu asyik dengan gaya berteori yang muluk-muluk (grandiose) dan
berpotensi membangun teori besar (grand theory), dengan implikasi meremehkan teori-teori
yang lebih kecil.
Merton dalam hal ini
menawarkan 5 perspektif yang diurainya lebih baik :
1. Karena
teori fungsional sebelumnya terlalu berfokus pada grand theory (makro),
sehingga sukar melihat rujukan empiris, maka Merton menawarkan middle-range theory.
2. Jika
sebelumnya teori fungsional terlalu makro maka masyarakat menjadi full integration
jika diturunkan ke middle-range theory tidak
akan terlihat seperti itu
3. Betul
fungsional, tapi harus dibedakan bentuk kontribusinya, mana fungsi yang
menyebabkan kemunculan sesuatu dan mana yang menyebabkan sesuatu itu bertahan.
4. Jika
sebelumnya teori fungsional mencampurkan antara subjective disposition dan objectives
concequences, menurutnya keduanya harus dibedakan antara mana yang manifest
dan yang laten
5. Teori
sebelumnya kurang memberikan perhatian pada perubahan kalaupun ada itu adalah
perubahan yang bersifat evolusi linear namun Merton menawarkan perubahan social.
Dalam membangun
teorinya, Merton mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang harus di jawab, salah
satu pertanyaan yang ia jawab ialah pertanyaan yang berkaitan dengan tiga
proposisi fungsional :
1. Tidak
mungkin kesatuan fungsional dapat mendorong terjadinya integrasi secara tuntas
2. Tidak
mungkin mengikuti argument fungsional yang berpandangan universal, dalam arti
seluruh bentuk social dan kebudayaan yang sudah baku memliki fungsi-fungsi
positif.
3. Indispensability atau
klaim fungsional yang menyatakan setiap tipe peradaban, kebiasaan, ide, obyek
material dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah
tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat
dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan.
Merton juga menyoal
tentang ketidakjelasan batasan yang dibuat teori fungsional, tentang motivasi
dan konsekuensi obyektif, Merton juga sependapat dengan Parsons bahwa tindakan
yang mapan atau terjadi berulang kali akan mempengaruhi bertahannya suatu sistem
social, tapi Merton tidak memfokuskan kepada orientasi subyektif individu, yang
sadar dapat di orientasikan untuk memenuhi persyaratan fungsional.
Merton menunjukkan
bahwa motivasi yang secara sadar dan di ketahui diorientasikan kepada upaya
menyumbang terpenuhinya syarat fungsional, tiada lain adalah fungsi manifest
atau motif yang dimaksudkan, sedangkan dalam praktek tak jarang dijumpai fungsi
laten yakni motive dengan konsekuensi obyektif yang tidak dimaksudkan dan tidak
diketahui pembedaan antara motive dan konsekuensi obyektif dalam bagian di atas.
G.
KRITIK TERHADAP STRUKTURAL FUNGSIONAL
Neofungsionalisme
lahir dari tokoh Jeffrey C alexander yang mengemukakan kritik internal terhadap
pandangan-pandangan teori fungsional dengan memperluas lingkup kajian
intelektualnya sembari mengacu kepada dasar pemikiran fungsionalisme itu
sendiri. Neofungsionalisme memimiliki orientasi berupa membuat model deskripsi
masyarakat dengan pola-pola tertentu, berorientasi kepada level makro dengan
memperhatikan struktur social dan budaya. Fenomena yang mengandung kemungkinan.
Fenomena budaya dapat melahirkan ketegangan tersendiri dan perubahan social
yang berlangsung melalui differensiasi dalam system kepribadian, budaya dan
system social.
H.
DESAIN PEMBELAJARAN DALAM PERSPEKTIF FUNGSIONALIS
Ada tiga unsur dalam desain pembelajaran menurut
penganut funsionalis,yang pertama adalah kurikulum yang di angkat berdasarkan
gagasan,konsep dan jenis pengetahuan yang ada dalam masyarakat yang memiliki
nilai-nilai budaya. Dengan adanya nilai budaya yang terdapat dalam kurikulum
yang kemudian di kembangkan menjadi karakteristik. Yang kedua adalah peranan
guru yang bertugas untuk mengembangkan rasa tanggung jawab siswa ketika hidup
dalam lingkungan kelompoknya, mendorong untuk membangun kesetiaan terhadap
cita-cita dan nilai-nilai kelompok,berusaha mendahulukan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi. Mengembangkan dan mematangkan skill siswa dengan
keahlian yang di perlukan masyarakat. Kaum fungsionalis menganggap murid
sebagai kotak kosong yang harus diisi oleh seorang guru,dalam hal ini proses pembelajaran
masih berpusat pada guru sebagai sumber informasi.
Di mata penganut fungsionalis pendidikan harus
mengacu kepada nilai-nilai kolektif yang di jadikan pengembangan tertib
masyarakat. Prinsip moral yang ada di masyarakat di angkat melalui kurikulum
dan di terapkan di sekolah dengan tujuan siswa mampu menjadi bagian untuk
berperilaku baik demi terciptanya tatanan masyarakat yang tertib dan
berperilaku tidak menyimpang. Sekolah harus menjadi institusi atau agen
pencipta tertib social melalui siswa.
3 komentar:
Keren bang....... sangat membantu bisa menjadi contoh tugas ane nihh :D
Minta refrensinya dong
Posting Komentar