lagu

Popular Posts

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL

Minggu, April 20, 2014 |



PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL




A.    PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN PENDIDIKAN
Para penganut pandangan structural fungsional percaya bahwa pendidikan dapat digunakan sebagai jembatan untuk menciptakan tertib sosial. Pendidikan dijadikan sebagai media sosialisasi kepada generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan, perubahan perilaku dan penguasaan tata nilai yang diperlukan sebagai anggota masyarakat.
Auguste Comte (1798-1857) yang dikenal sebagai bapak sosiologi yang memelopori filsafat positivistic, berpendapat bahwa pengetahuan dan masyarakat dalam proses transisi secara evolusi. Tugas sosiologi disini untuk memahami faktor-faktor yang diperlukan dalam evolusi masyarakat. Semuanya itu nantinya bertujuan untuk menciptakan tertib sosial yang baru. Pendidikan lah yang digunakan sebagai tempat untuk mengembangkan tradisi pengetahuan positivistic, sehingga siswa dapat berpikir positive sehingga segala sesuatu dapat dijelaskan dengan sebab-akibat.
Evolusi tertib sosial melalui tiga tahap yaitu; tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ilmiah. Comte percaya bahwa masyarakat selalu tumbuh melalui tiga tahap sesuai dengan tingkat kompleksitas masyarakat.
Namun dalam perkembangannya perspektif structural fungsionalis mengalami kemerosotan. Colomny (1990) menyimpulkan bahwa teori fungsional telah berubah menjadi tradisi.
B.     KONTEKS SOSIAL
Kemuculan teori struktural fungsional dilatar belakangi oleh perkembangan masyarakat yang dipengaruhi oleh semangat Renaissance. Awalnya masyarakat beranggapan, bahwa manusia tidak memiliki otoritas untuk menjelaskan fenoma yang terjadi di sekitarnya karena semua telah ditentukan oleh Tuhan. Pandangan ini lalu menjadi perdebatan, mereka beranggapan aturan yang dibuat oleh Tuhan tidak untuk selamany, yang berarti ada celah untuk manusia dapat mengolahnya. Lalu renaissance memunculkan berbagai temuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang pendidikan lalu muncul pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perubahan yang terjadi ini menimbulkan perubahan pada pola pikir masyarakat. Pertama, perubahan pada formasi sosial yang saat itu berupa revolusi politik. Sebelumnya bangsawan gereja yang medominasi system politik lalu posisi mereka digantikan oleh para pemiliki alat-alat produksi. Kedua, perubahan pada tatanan nilai yang mempengaruhi masyarakt dalam memahami realitas kehidupan. Banyak nilai-nilai yang telah dulunya dijadikan patokan dalam hidup mulai ditinggalkan. Muncul berbagai peristiwa yang membuat situasi kacau (chaos). Menghadapi situasi yang kacau, ada berbagai tanggapan masyarakat. Ada yang beranggapan untuk kembali ke tatanan nilai sebelumnya namun ada yang beranggapan bahwa untuk kembali ke tatanan nilai sebelumnya tidak mungkin. Yang diperlukan saat itu adalah membangun landasan baru yang dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Pikiran melihat ke depan tersebut dikembangkan oleh Saint Simon (1760-1825). Mereka mendorong agar pendidikan dapat melahirkan generasi yang dapat membantu memecahkan masalah dan menciptakan keharmonisasian hidup.
Maka, teori structural fungsional mewarnai munculnya revolusi pengetahuan. Dalam mengembangkan argumennya teori ini mengambil dari teori organis sistematik yang berasal dari beberapa aliran, yaitu;
1.            Naturalisme yang berpandangan bahwa semua yang terjadi di dunia ini pasti ada sebabnya. Aliran ini berpengaruh dalam metodologi masalah sosial. Aliran ini juga merubah pola pikir yang awalnya semua dikembalikan kepada kekuatan suprantural.
2.            Rasionalisme yang berpendapat bahwa manusia mempunyai akal untuk menjelaskan sebab-akibat.
3.            Positivism/empirisme yang berpendapat bahwa segala sesuatu dapat diobservasi dan diukur secara empiris. Aliran ini banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu alam.
4.            Evolusi sosial yang berpendapat bahwa ada proses yang mendorong terjadinya perubahan yang bersifat evolusioner.
5.            Social reform yang berpendapat bahwa ada perubahan kea arah yang lebih baik dan progress.
6.            Konformisme yang berpendapat bahwa setiap individu dalam masyarakat akan menyesuaikan kehendak umum/sosial. Pandangan ini muncul akibat pengandaian terhadap konformitas bagian-bagian tubuh terhadap susunan organisme.
Asumsi yang mendorong teori structural fungsional yang lebih menekankan pada keharmonisan, yaitu;
a.       Masyarakat harus dilihat sebagai suatu system yang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan
b.      Setiap bagian dalam masyarakat memiliki perannya masing-masing untuk menjaga keeksistensian masyarakat.
c.       Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri, dan system sosial akan berproses ke a ah tersebut.
d.      Perubahan dalam system sosial terjadi secara gradual
e.       Faktor yang menentukan keberhasilan integrasi dalam masyarakat adalah adanya kesepakatan pada anggota-anggota masyarakat terhadap nilai-nilai dalam masyarakat.
f.       Masyarakat cenderung mengarah pada keadaan ekuilibrum atau homeostatic.
Dari beberapa asumsi yang diungkapkan dari teori fungsional structural tersebut, ada implikasi yang muncul yaitu menempatkan pendidikan sebagia institusi sosial. Yang bersama dengan institusi lain menjalankan peran demi tercapainya ekuilibrum. Pendidikan harus dapat memberi sumbangan yang dapat mengintegrasikan diri dalam perubahan yang terjadi pada masyarakat.
Para eksponen teori structural fungsional mendorong perkembangan sosiologi regulasi dalam semua tahap, dengan mengarahkan kepada upaya untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa sosial secara rasional dan empirik. Dalam realitasnya para eksponen lebih mengedepankan komitmen terhadap rekayasa sosial yang dimulai oleh elite lalu disebarkan pada masyarakat.
Rekayasa elite pun juga berkembang dalam dunia pendidikan. Kebijakan, kurikulum, pengembangan sumber daya dan prasarana dikendalikan secara terpusat oleh elite. Pendidikan dijadikan media untuk sosialisasi niali-nilai kolektif. Pada tingkat mikro proses pembelajaran menggunakan pendekatan behavioristik. Selain itu pengetahuan dan pengalaman yang ingin diberikan kepada siswa bukanlah yang antagonis, sehingga siswa mempunyai bekal untuk mengadopsinya dalam system sosial masyarakat.
C. PERTANYAAN YANG DI AJUKAN
Pendidikan dalam presperktif fungsional harus dikembangkan berdasarkan proporsi berikut. Pertama, susunan individu. Kedua, abstraksi dari individu. Ketiga fenomena social hanya memiliki realitas dalam individu. Keempat, mengetahui perilaku individu. Kelima, mengamalkan nilai-nilai yang ada di dalmnya.
Kajian sosiologi pendidikan dari prespektif fungsional difokuskan kepada pendidikan sebagai realitas social, pendidikan dan struktur social, pendidikan sebagai pranata social, hubungan pendidikan sebagai pranata social dengan pranata-pranata social yang lain. fakta social disini dimaksudkan ke dalam kenyataan empiris. Di dalam dunia pendidikan terdapat fakta social yang saling berjkaitan satu sama lain. selain ketergantungan mereka bukan pda tataran individu melainkan pada level entitas atau kelompok. Contoh entitas guru, kepala sekolah, komite sekolah, entitas siswa atau orang tua dan seterusnya.
Menurut emile Durkheim fakta social dibedakan menjadi dua , yakni : material dan non-material. Material yang merupakan semua yang dapat dilihat seperti komite sekolah , organisasi wali murid, dan lain lain. biasanya berbentuk komponen perubahan morfologi masyarakat. Sedangkan yang bersifat non-material sesuatu yang dianggap nyata namun masih abstrak seperti, kesadaran solidaritas, moralitas dan lain-lain.
Implikasi menurut Durkheim ini diimplikasikan untuk membaca pendidikan dan didasarkan untuk menciptakan titik ekuilibrium pada dunia pendidikan. Sebagai dasar dari penciptaan ekuilibrium tidak boleh mengunakan kekrasan dan paksaan. Bila melalui hal tersebut sistem tersebut terjadi ketegangan yang akan mengalami disfungsi. Keberadaan perilaku menympang dalam sebuah sistem, dipandang sebagi bagian dari keberlang sungan dalam sebuah sistem.
D. UNIT ANALISIS STRUKTURAL FUNGSIONAL
Fakta social ini terutama memfokuskan perhatian terhadap analisa pada level makro obyektif. Studi makro dalam sosiologi pendidikan antara lain berkaitan dengan kajian terhadap pendidikan dan interelasinya dengan struktur social, institusi masyarakat dan hubungannya dengan shukum, birokrasi, arsitektur, teknologi juga bahasa. Dalam sosiologi pendidikan membahas dalam ranah makro subjektif seperti masalah budaya sekolah dan masyarakat, terutama akibat pengaruh dari faktor-faktor structural seperti perkembangan teknologi, sistem politik, pemerintahan, ekonomi dan lain-lain yang semuanya itu akan membentuk ekuilibrium dan mekanisme consensus. Yang akan menjadikan tumbuhnya kesadaran integrasi social dan menghindarkan adanya disintegrasi social
Oleh karena itu cakupan bersekala makro , tujuan analisisnya adalah mencari hukum-hukum universal dan bukan menelusuri keunikan dari sebuah fenomena. Teori structural fungsional lebih terpusat pada kelompok dan sistem social sebagai unit analisis. Sekolah sebagai institusi, sistem dan kelompok kependidikan sebagau unit analisis. Tidak digunakan untuk tujuan memahami kesadaran individu melainkan untuk kepentingan semua orang yang berada dalam institusi, sistem dan dimana pendidikan diselengarakan
E. METODOLOGI YANG DIPAKAI
Teori fungsional adalah faham positivism yang berasumsi sesuatu dapat diobservasikan dan diukur secara empiris (aliran ini di pengaruhi oleh ilmu-ilmu dalam dan eksak). mereka berpendapat bahwa fakta sosial bersifat objektif yang efeknya dapat diobservasi. Dan bukan sebagai tujuan praksis. Analisa teri funsional bertujuan untuk menmukan hukum-hukum universal dan bukan mencari keunikan. Dengan demikian teori fungsional berhadapan dengan cakupan populasi yang sangat luas, sehingga tidak mungkin untuk mengambil secara keseluruhan sebagai sumber data. Untuk menkaji secara realitas universal dapat diambil sejumlah sampel yang mewakili. Dengan kata lain keterwkilan menjadi sangat penting.
Kajian fungsional menekankan upaya menemukan hubungan kausal dan korelasi antar fenomena, maka metode penelitian ini mengarah kepada pemekaian tehnik kuantitatif. Dengan sendirinya, metode survey lebih memungkinkan penelitian mencari penjelasan korelasi antar fenomena, dan juga metode eksperimen menjadi penguji hubungan kausalitas antar fenomena. Kedua metode tersebut menjadi popular di mata para eksponen teori structural fungsional.
Dalam penelitian survey maupun eksperimen, penelitian yang beroperasidalam ranah pengetahuan nomotetik ini akan merasa sangat terbantu dengan dukungan simulasi computer. Teknik reduksi data, pembuatan sekala, dan analisa static. Hal itu sangat sangat diperlukan dalam penelitian kuantitatif baik dari survey maupun eksperimen yang menghendaki pengukuran yang tepat. Dapat mengarah kepada temuan yang memiliki validasi eksternal maupun internal, akurasi dan tingkat konstan nilai atau nilai reabilitas yang tinggi. Teknis ini dilkukan dengan menentukan hipotesis terlebih dahulu, jika hal itu dilakukan dilakukan dengan baik, maka penelitian structural funsional akan dapat melakukan verivikasi data ked an dari lapangan.
F. TOKOH PERSPEKTIF FUNGSIONAL
1. AUGUSTE COMTE
Beliau lahir tahun 1798mdi Kota Monpellier Perancis Selatan. Selama dua tahun, dari 1814 hingga 1816 Comte belajar di Sekolah Politeknik di Paris. Tahun 1817 diangkat menjadi sekretaris Saint Simon, seorang pemikir yang dalam merespon dampak negatif reinaissance menolak untuk kembali ke abad tengah, melainkan justru harus harus direspon dengan membangun basis intelektual baru, yakni berfikir empirik dalam mengkaji persoalan realitas sosial. Pemisahan diri dengan Saint Simon terjadi manakala Comte kemudian menerbitkan buku “ Sistem Politik Positif,” tahun 1824. Pada tahun 1830 seri “ Filsafat Positif” yang ia susun diterbitkan, dan kemudian menyusul seri-seri berikutnya sampai dengan tahun 1842. Karena itulah Comte kemudian dianggap pertama kali memakai istilah Sosiologi meski ada yang berpendapat lain, misal Eriksson yang berpandangan bahwa yang sesungguhnya lebih tepat menjadi sumber awal sosiologi adalah tokoh semacam Adam Smith atau pada umumnya kaum Moralis Scottish.
a.                   Hukum Evolusi Tiga Tahap.
Dalam memahami krisis Comte berpendapat bahwa harus melalui pedoman-pedoman berfikir Ilmiah. Ia juga banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial Encyclopedist Perancis, aliran reaksioner dan sosialistik. Kemudian ia dikenal sebagai pencetus perspektif pengetahuan positivisme atau filsafat positivistik sebagai bentuk perlawanan terhadap filsafat dan cara berfikir yang melandai para filosof pencerahan. Comte berada dalam posisi yang sejalan dengan gerakan antirevolusi kaum Katolik terutama dari de Bonald dan de Maistre. Dua hal yang dapat dicatat dalam hal ini ialah, pertama ia tidak mempunyai bayangan untuk berfikir kembali ke abad pertengahan, karena perkembangan industri dan pengetahuan jelas tidak memungkinkan hal itu, kedua ia mengembangkan sistem teoritikal yang menarik ketimbang para pendahulunya sehingga lebih memadai sebagai dasar pijakan pemikiran awal sosiologi. Sebagai wujud perlawanannya terhadap filsafat negatif yang mendasari pencerahan dan revolusi Perancis, Comte secara tegas menolak perubahan revolusioner. Dia menganjurkan perubahan evolusi. Reformasi memang dibutuhkan sejauh membantu proses evolusi itu sendiri.
Teori evolusi ini kemudian yang mendorong lahirnya hukum tiga tahap perkembangan.
1.      Tahap Teologis
Tahap ini masyarakat  percaya akan kekuatan supranatural dan agama diatas segala-galanya. Dunia fisik maupun sosial dipandang sebagai produk Tuhan. Bentuk-bentuk pemikiran tahap awal perkembangan atau evolusi manusia ini antara lain adalah fetishisme dan animisme.
2.      Tahap Metafisika
Tahap ini masyarakat berkeyakinan bahwa kekuatan abstrak dan bukan personifikasi Tuhan adalah sumber kekuatan fisik maupun sosial. Menurut Comte cara berfikir metafisik ini sebenarnya adalah pergantian nama saja dari car berfikir teologis. Baginya cara berfikir manusia harus keluar dari tradisi teologis maupun metafisik untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai sarana mencari kebenaran.
3.      Tahap Positif
Masyarakat mempercayai pengetahuan ilmiah, dan manusia berkonsentrasi pada kegiatan observasi untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial. Dalam tahap inilah pemikiran positivistik, empirik dan naturalistik menggantikan otoritas pengetahuan teologis serta pengetahuan  metafisis.
            Hukum tiga tahap yang diperkenalkannya tidak saja mengesankan dia sebagai teoritis yang optimi, tetapi juga terkesan linear seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya untuk kemudian bermuara pada tujuan akhir yang final yang digambarkan berwujud masyarakat positivistik.
2. HERBERT SPENCER
            Herbert Spencer lahir di kota kecil Derby Inggris tahun 1820. Specer memperjuangkan konsep dan metode penafsiran alami dan ilmiah menggantikan mode penafsiran agama. Dia menyambut positif filsafat positivismenya Comte, empirisnya Fracis Bacon serta John Locke, serta skeptisismenya David Hume yang memperoleh tempat dibenak masyarakat Inggris saat itu.
a.       Filsafat yang Mempengaruhi
Spencer banyak dipengaruhi karya Darwin, melalui karyanya Origin of spiciec.  Spencer ialah orang yang menemukan prinsip-prinsip Darwinisme. Dia menerima gagasan Darwin mengenai seleksi alamiah sebagai kunci dari mekanisme evolusi, meski dalam perkembangannya ia melengkapi dengan pandangan Lamarckian.
Spencer adalah pengagum Malthus namun tidak semua setuju dengan jalan pikirannya. Dia juga dipengaruhi filsafat laisses faire dari Adam Smith,dan juga membaca filsafat karya temannya sendiri John Stuart Mill, serta Sir William Hamilton.
b.      Dimensi Teoritik
Dimensi teori yang menjadi perhatian Spencer antara lain meliputi pertumbuhan,struktur,diferenisiasi, tipe-tipe sosial, evolusi linier dan multilinier, individualisme dan organisme, good society, analisa obyektif dan lain sebagainya. Yang dimaksud diferensiasi oleh Spencer adalah saling ketergantungan setiap bagian dari sistem sebagai akibat dari meningkatnya perkembangan masyarakat. Konsep evolusi menurut Spencer mirip apa yang di kemudian hari dikembangkan oleh Durkheim, dalam tulisannya The Division of labor in Society, sebuah teori yang dipengaruhi oleh pandangan para fungsionalis. Namun demikian Spencer berbeda dengan durkheim. Tidak seperti Spencer Durkheim tidak memfokuskan kepada prasyarat inheren dari diferensiasi sosial, lalu menekankan bahwa fakta sosial merupakan subyek yang tepat bagi kajian sosiologi, sementara spencer justru mereduksi ke dalam faktor psikologis sebagai penyebab dari perubahan sosial.

Pandangan spencer cenderung bercorak individualistik, berbeda dengan Comte yang antarindividualistik dalam pengertian individu tidak lebih merupakan subordinasi masyarakat. Spencer menolak mode pnejelasan masyarakat sebagai sebuah benda atau entitas. Sebagai organisme, masyarakat menurut Spencer tumbuh sebagaiman perkembangan organisme dan dalam hal ini melalui empat tahap, yaitu tahap pertambahan, tahap kompleksifikasi, tahap diferensiasi dan tahap integrasi. Tahap pertambahan atau penggandaan adalah masyarakat sebagai organisme yang hidup tumbuh sepanjang kehidupan mereka. Tahap kompleksifikasi adalah masyarakat berkembang dalam ukuran maupun dalam strukturnya secara berlipat ganda dan secara simultan semakin kompleks. Tahap diferensiasi ialah suatu tahap dimana perkembangan semua organisme akan menonjolka perbedaan dalam masing-masing bagian baik dalam struktur maupun fungsinya. Tahap Integrasi ialah diferensiasi akan disertai dengan kecenderungan untuk berintegrasi, meskipun berjalan secara lamban dan mungkin dalam level yang relatif sederhana.
3. CHARLES DARWIN (1809-1882)
            Charles Darwin dilahirkan di Shrewsbury, Inggris dari keluarga kaya. Ia menempuh pendidikan di Universitas Cambridge. Saat membaca tulisan Malthus mengenai penduduk, Ia mendapatkan jawaban seleksi alam atas dasar perjuangan hidup dan survival of the fittest di dunia reproduksi binatang yang sebenarnya jauh dari akibat-akibat yang diinginkan bagi kelangsungan beberapa spesies.  
            Ada tiga dimensi teoritik dari Evolusionisme Darwin yang meliputi:
1.      Darwin sampai pada pembuktian bahwa makhluk organis tidak dijadikan serentak menurut jenisnya masing-masing. Terjadinya macam-macam jenis merupakan hasil dari adaptasi, perubahan dan evolusi yang terjadi dalam waktu yang lama.
2.      Evolusi bukan pelaksanaan tujuan, melainkan adaptasi kepada lingkungan.
3.      Proses evolusi berlangsung melalui empat konsep yaitu struggle for life, survival of the fittest, natural selection dan progress.

Gagasan Darwin tentang evolusi organisme menggambarkan proses linear dari perjuangan hidup yang keras menuju ketahanan melawan serangan yang berasal dari luar. Organisme yang tidak tahan akan “kalah” yang ditentukan oleh alam dalam seleksi alam. Dan organisme yang “berhasil” lolos dari seleksi alam akan mengalami kemajuan.
Dari gagasan tersebut, evolusi biologis kemudian mengilhami munculnya teori Darwinisme Sosial yang didasarkan pada anggapan seleksi alam dan ketahanan melawan serangan dari luar. Veeger mencatat bahwa teori Darwinisme Sosial ini terdiri dari empat kelas, yaitu :
a.        Teori Naluri
             Teori ini menyatakan bahwa masyarakat di dalamnya memuat kecenderungan biologis dari dalam diri manusia yaitu naluri social yang disebut herd instinct atau gregarious instinct. Salah satu eksponen dari teori ini adalah Vilfredo Trotter. Dalam kajiannya diketahui bahwa naluri berkelompok itu ada pada diri manusia yang mendorongnya untuk menyukai dan mengakui teman-teman sesame. Hal ini terjadi karena manusia membutuhkan kehadiran orang lain.
            Dari kajian itu dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk budaya, bukan semata-mata karena dorongan sosialitas manusia. Sehinga perilaku manusia tidak lagi sekedar sebagai spesies yang berevolusi secara biologis saja, melainkan berevolusi secara kultural.

b.      Teori Ras
            Ajaran polygenetisme nampaknya mempengaruhi pikiran Darwin. Polygenetisme mengajarkan bahwa asal-usul manusia bukan dari pasangan tunggal (monogenetisme) melainkan dari pasangan gene yang plural dan berbeda-beda sehingga penuh dengan keragaman dan bentuk genetic. Sebagai teoritisi Darwinisme Sosial, Ludwig Gumplowicz (1838-1909) mengambil konsep Darwin dengan apa yang disebut sebagai teori Struggle for life. Dari situ dapat diketahui bahwa mereka yang kuatlah yang akhirnya keluar sebagai pemenang.

c.         Teori Determinisme
            Teori ini bertumpu pada faktor tunggal sebagai penyebab perubahan. Frederick Le Play (1806-1882) memakai perspektif ini untuk melihat adat dan nilai-nilai budaya tradisional dalam proses pembentukan tertib sosial. Keadaan keluarga menurut Le Play dipengaruhi oleh lingkungan dan pekerjaan yang pada akhirnya mempengaruhi pola relasi keluarga. Teori Le Play ini disamping menunjukkan determinisme faktor stuktural juga terasa diwarnai oleh etnosentrisme. Karena Ia beranggapan bahwa masyarakat Barat memiliki keunggulan.

4.      EMILE DURKHEIM
            Durkheim adalah  seorang tokoh yang sering disebut sebagai eksemplar dari lahirnya teori fungsionalisme stuktural. Ia adalah sosiolog Perancis pertama yang menempuh jenjang ilmu sosiologi paling akademis. Ia memutuskan untuk menjadi sosiolog karena ingin membantu rekontitusi moral masyerakat. Pikiran Durkheim sangat berpengaruh tidak hanya dalam perkembangan sosiologi, tetapi juga melebar ke bidang-bidang lain. Ia juga dikenal sebagai tokoh konservatif.
a.    Subyek Sosiologi
Durkheim mengatakan bahwa subyek sosiologi adalah “fakta social”. Fakta social disini haruslah bersifat eksternal, koersif dan menyebar karena bagaimanapun kenyataannya di setiap masyarakat jelas terdapat sekumpulan fenomena yang berfungsi sebagai suatu yang menentukan dan terpisah di luar individu. Fakta social yang demikian adalah suatu kenyataan yang memiliki karakteristik khusus, yakni mengandung tata cara bertindak, berpikir dan merasakan yang bersifat di luar individu yang ditanamkan dengan kekuatan koersif.
Durkheim membedakan dua jenis fakta social yaitu fakta social material dan non-material. Fakta social material antara lain masyarakat, komponen stuktur masyarakat dan juga komponen morphologi masyarakat. Jadi fakta social material merupakan sesuatu yang riil. Sedangkan fakta social non material adalah norma, niai social, kesadaran kolektif, representasi kolektif, peristiwa social dan budaya pada umumnya.
Menurut Durkheim, fakta social tidak dapat direduksi menjadi fakta individu karena ia memiliki eksistensi yang independen di tingkat social. Sehingga fakta social memang merupakan kumpulan fakta-fakta individu tetapi kemudian diungkapkan dalam suatu angka social misalnya angka kelulusan, angka perkawinan, angka kelahiran, dll. Dengan demikian angka-angka itu bukan menggambarkan angka diri sendiri melainkan representasi dari pluralitas masyarakat.

b. Dimensi-dimensi Teoritik
            Dimensi-dimensi yang diungkap Durkheim dapat ditelusuri melalui kajiannya terhadap elemen pembentuk kohesi social atau solidaritas social, pembagian kerja dalam masyarakat, implikasi formasi social baru yang melahirkan gejala anomie, perkembangan masyarakat dan bunuh diri, agama dan pendidikan, nilai-nilai kolektif.
1)   Fungsi Pendidikan
            Pendidikan adalah bagian yang penting untuk menjaga keberlangsungan dalam masyarakat . Durkheim merupakan orang pertama yang mengajukan agar sosiologi dijadikan sebagai pendekatan dalam bidang pendidikan. Durkheim menggambarkan generasi muda yang memerlukan bantuan pendidikan untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan di tengah masyarakat yang memiliki tata nilai tertentu. Hal ini penting karena pemuda pada dasarnya belum siap memasuki kehidupan masyarakat.
            Pendidikan dipersepsikan Durkheim sebagai satu kasatuan yang utuh dari masyarakat secara keseluruhan. Karena pendidikan menentukan proses alokasi dan distribusi sumber-sumber perubahan. Sehingga diperlukan kebijakan untuk menetapkan prioritasnya. Dalam menata perencanaan pendidikan menurut Durkheim harus diorientasikan kepada pengupayaan modal dasar manusia. Pendidikan yang demikian dipandang sebagai sebuah investasi. berikut ini adalahimplikasi perspektif teoritik Durkheim terhadap pendidikan.

Teori
Masyarakat
Pendidikan
Prioritas Kebijakan
Strategi Perencanaan
Fungsionalisme Durkheim
·  Integrasi  institusi social
·  Tertib social berdasarkan consensus
·  Homeostatic, mencari keseimbangan antar institusi
· Pendidikan kesatuan utuh dengan institusi lain
· Fungsi sosialisasi
· Fungsi seleksi dan alokasi
· Penciptaan pengetahuan baru
· Fungsi Babysitting
·    Peluang sama, mento cracy semua bisa mengembangkan potensi
·    Memaksimalkan bakat
·    Mendekatkan pendidikan dengan sector masyarakat lain
·      Sistem pendidikan selektif
·      Human capital
·      Pendidikan sebagai investasi
·      Hindari kendala mobilitas social
·      Pembelajaran berbasis bank concept

2)   Pendidikan dan Pembagian Kerja
            Dalam analisisnya terhadap pembagian kerja masyarakat, Durkheim banyak dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer yang menggunakan analogi biologis. Pendidikan merupakan bagian dari masyarakat dan berhubungan dengan institusi yang lain. Durkheim memandang pendidikan harus bisa menjalankan fungsi baby sitting yang artinya pendidikan bisa memelihara dan mencegah generasi muda dari patologi social.
            Tugas pendidikan di masyarakat organic harus bisa mengantar siswa menentukan pekerjaan, karena pekerjaan merupakan soal pilihan. Pendidikan harus memberikan skill dan spesialisasi karena status yang ada di masyarakat tergantung pada spesialisasi yang dimiliki. Pendidikan juga harus memberikan standar keterampilan minimum yang dibutuhkan untuk bisa hadir di tengah masyarakat. Pendidikan harus mengajarkan solidaritas organic karena mekanisme yang cocok untuk mengatur tertib masyarakat adalah solidaritas organic.
            berikut adalah dua ideal tipe masyarakat menurut Durkheim dan implikasinya:
           
Penanda
Solidaritas Mekanik
Solidaritas Organik
Masyarakat
Tradisional
Modern
Pembagian kerja
Rendah, Generalisasi
Spesialisasi
Sifat hukum
Represif
Restuitif
Kesadaran kolektif
Tinggi
Rendah
Aksentuasi
Persamaan
Kolektif
Perbedaan
Individu

3)      Pendidikan dan Kesadarn Kolektif
            Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah tiada lain adalah konsekuensi dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Mereka yang lebih tua menanamkan nilai-nilai teladan kepada mereka yang muda agar mereka siap secara fisik dan mental untuk memasuki dunia masyarakat yang lebih luas.
       Dalam konsep Durkheim, perubahan solidaritas mekanik di sekolah menjadi mode solidaritas organic hal ini karena hasil dorongan dari praktek mode solidaritas organic yang terjadi di masyarakat. Kesadaran kolektif adalah nilai-nilai kemasyarakatan yang merupakan consensus masyarakat untuk mengatur hubugan social diantara anggota masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran kolektif itu bisa berupa aturan moral, aturan agama, dan lain sebagainya.
       Dengan demikian, guru harus menyadari otoritasnya karena guru merupakan pengemban nilai-nilai kolektif dan pemegang tanggung jawab untuk menstranformasikan kepada siswanya.

4)      Kekuatan dan Kelemahan Pandangan Durkheim tentang Pendidikan
     Kekuatan pandangan Durkheim tentang pendidikan adalah:
a.       Memperbaiki metode berpikir sosiologis berdasarkan pemikiran-pemikiran filosofis menjadi ilmu pengetahuan yang benar berdasarkan fakta-fakta yang dapat diobservasi
b.      Memberi sumbangan dalam memperlihatkan pemikiran dengan metodelogi holistic

sedangkan kelemahan pandangan Durkheim tentang pendidikan adalah:
a.    Adanya pandangan pesimis yang diterapkan ke dunia pendidikan
b.    Teorinya tidak peka terhadap munculnya unsur konflik dan kekuasaan dalam hubungan social
c.    Klaim Durkheim yang menyatakan bahwa ketika pembagian kerja meningkat maka akan meningkatkan pembagian organisasi pendidikan.

5. TALCOTT PARSONS
            Talcott Parsons lahir tahun 1902 di Colorado Springs, Ia adalah putera pendeta, sarjana mudanya mengambil di Kolese Amherst ( 1920-1924), program pasca sarjananya di London School of Economics (1924), setelah itu ia melanjutkan ke Heidelberg (1925-1926) dan di situ ia berkenalan dengan Max Weber.
            Parsons dikenal sebagai penggagas structural fungsional yang memfokuskan pada masalah system tindakan dan system social ini merupakan refleksi dari pengaruh sosiolog Italia, Vilfredo Pareto, oleh karena itu pertanyaan yang ia ajukan lebih ke arah membangun, keseimbanganm tertib dan keteraturan social.
            Pemikiran dan gagasannya banyak dipengaruhi oleh Durkheim terutama tentang pandangannya tentang kesamaan antara manusia dengan organisme hidup, pengaruh ini tampak saat Parsons menyusun jawaban yang berkaitan dengan tertib social, ia berargumentasi bahwa tertib social disebabkan oleh 3 hal penting, yaitu, pertama nilai-nilai budaya yang dibagi bersama, kedua nilai yang dilembagakan menjadi norma social dan ketiga nilai yang dibatinkan individu menjadi motivasi-motivasi, melalui bukunya The Structure of Social Action ia menempatkan individu sebagai unit analisis, hal ini karena individu memiliki kemauan subyektif yang bersifat voluntaristik.
a.      Variabel Pola Pengelompokan Sistem Sosial
Parsons mengambil gagasan mengenai hokum evolusi dalam masyarakat, yang berla   ku juga dalam pembentukan pola tindakan, menurut Parsons masyarakat memiliki dua alternative terpola, terdiri dari pasangan berbeda yang masing-masing terdiri atas lima variable :
1.      Perasaan (affectivity) atau netral perasaan (affectivite neutral), dalam hal ini actor dihadapkan kepada problem penentuan sikap, menghayati fenomena social, seberapa tingkat emosi, dan perasaan digunakan dalam menghadapi fenomena tertentu
2.      Arah diri (self-orientation) atau arah kolektif (collectivity orientation), dalam hal ini actor dihadapkan pada pilihan untuk memilih kepentingan diri atau membagi energinya untuk kepentingan umum.
3.      Partikularisme atau universalisme, dalam hal ini actor dihadapkan apakah harus bertindak atas dasar prinsip-prinsip umum yang berlaku tanpa pilih kasih atau menjalankan tindakan karena relasi-relasi khusus
4.      Status bawaan (ascription) atau status prestasi diri (achievement) dalam hal ini persoalan yang dihadapi adalah berkaitan dengan penentuan sesuatu apakah atas dasar pembawaan ataukah karena prestasi.
5.      Campur baur (diffuse) atau spesifikasi (specifity), kali ini actor dipersilahkan untuk memilih memfungsikan dirinya sebagai bagian dari fungsi social tertentu atau memerankan diri dalam keseluruhan fungsi yang ada dalam masyarakat.
Variable terpola ternyata menggambarkan kehidupan di masyarakat di satu sisi menggambarkan gemeinschaft atau masyarakat paguyuban dengan tingkat solidaritas tinggi yang melahirkan semangat komunalisme yang tinggi dan di sisi satunya menggambarkan gesselschaft atau masyarakat patembayan dengan mengedepankan individualisme, yang melahirkan hubungan antar individu yang bersifat impersonal, secara rinci lihat tabel berikut :
Gemeinschaft
Gesselschaft
  1. Affective
a.       Affective neutral
  1. Particularism
b.      Universalism
  1. Ascription
c.       Achievement
  1. Self
d.      Collectivity

Kendati Parsons memanfaatkan banyak gagasan Durkheim, namun Parsons memiliki beberapa kritik seperti, Durkheim hanya melihat masyarakat hanya sebagai system serupa organism biologi tanpa menjelasakan jaringan-jaringan dan kebutuhan yang ada dalam system tersebut, Durkheim tidak menjelaskan bagian mana dari masyarakat yang memiliki fungsi integrasi dan adaptasi untuk mencapai kondisi ekuilibrium.
 Menurut Parsons terdapat fungsi dan kebutuhan tertentu yang dipenuhi oleh setiap system, dalam hal ini ada dua kebutuhan penting yaitu, pertama kebutuhan system internal yang dibutuhkan ketika berhubungan dengan lingkungan, yang kedua berhubungan dengan pencapaian sasaran atau tujuan serta sarana yang perlu untuk mencapai tujuan itu.
Berdasarkan premis tersebut, Parsons menciptakan empat kebutuhan fungsional yaitu AGIL, yaitu :
1.      Adaptation
Kebutuhan system untuk menjamin apa yang dibutuhkan dari lingkungan serta mendistribusikan sumber-sumber tersebut kepada system, kebutuhan ini dipenuhi oleh system ekonomi.
2.      Goal Attainment
Kebutuhan system untuk menjamin upaya pemenuhan tujuan system serta penerapan prioritas di antara tujuan-tujuan tersebut, bagian ini dipenuhi oleh system politik.
3.      Integration
Sebuah kebutuhan system yang menjamin berlangsungnya hubungan antar bagian, sehingga diperlukan prasyarat berupa kesesuaian begian-bagian dari system sehingga seluruhnya fungsional, dalam hal ini dipenuhi melalui kebutuhan social.
4.      Latent Pattern Maintenance
Kebutuhan system untuk menjamn kesinambungan tindakandalam system sesuai dengan beberapa aturan dan norma, hal ini dapat dipenuhi melalui sitem budaya.
Oleh karena itu, pada level yang paling umum, keempat functional imperatives tersebut selalu dikaitkan dengan empat system tindakan, yaitu : organisme pelaku (behavioral organism), system kepribadian (personality system), sistem social (social system) dan system budaya (cultural system).
Dalam menghubungkan keempat prasyarat fungsional, Parsons menggunakan konsep cybernetics, yang diambil dari ilmu alam, genetika, teknik, dan matematika, yang dapat diartikan sebagi umpan balik proses yang menggambarkan hasil-hasil penampilan, lalu melahirkan modifikasi yang menentukan penampilan selanjutnya, oleh karena itu diperlukan control agar tetap dapat mengarah kepencapaian tujuan. Kontrol cybernetics dipakai Parsons untuk menjelaskan hubungan antar pelbagai system tindakan, dalam hal ini system tindakan berlangsung berdasar arus informasi system budaya ke system social kepribadian dan ke organism perilaku, energy yang muncul dalam arus tindakan dari arah sebaliknya, akhirnya berasal dari organisme perilaku, sehingga kedua arus saling berlawanan. Parsons tidak sependapat dengan Durkheim yang terlalu menekankan pada fakta social dan mengabaikan fungsi actor terhadap struktur, meskipun actor  dalam mencapai goal dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma, namun Parsons masih melihat peluang actor menjadi individu yang bebas ketika menentukan alternative sarana (means) yang dipakai untuk mencapai tujuan (goal).
b.      Talcott Parsons tentang Kelas Belajar
 Pada umumnya karya Parsons lebih memfokuskan kepada masalah system social di masyarakat, namun essaynya tentang “Kelas di Sekolah sebagai System Social” ia melakukan analisis di kelas, lalu ia merumuskan definisi dua fungsi penting kelas pembelajaran yakni sebagai alat sosialisasi dan seleksi, fungsi sosialisasi di sini tentu fokus dari kajian Durkheim, fungsi sosialisasi dapat dirangkum di sini tentang komitmen dan kemampuan individu yang digunakan di masa depan. Ketika membahas pandangan Durkheim itu akan mengacu pada peran yang diambil siswa di masyarakat di masa depan di sinilah fungsi “seleksi” dimana siswa dari berbagai lapangan pekerjaan atau jabatan mensosialisasikan pilihannya ke masyarakat.
 Menurut Parsons dasar yang dipakai sekolah untuk menempatkan siswa untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan sekolah adalah prestasi, pada kelas awal penyelesaian tugas diukur dari moral dan intelektual, memasuki kelas yang lebih tinggi penyelesaian masalah diukur dari aspek intelektual, Parsons percaya sekolah memberikan reward berdasarkan prestasi, Parsons juga berpendapat bahwa dalam masyarakat modern penempatan jabatan haruslah berdasarkan kemampuan di bidang tersebut, di masyarakat sederhana menempatan jabatan tidak berdasarkan prestasi, namun di masyarakat industri penempatannya berdasarkan prestasi.
Tugas pertama sosialisasi adalah sekolah harus mengajarkan ke siswa bahwa mereka akan dinilai berdasarkan prestasi, lagipula Parsons percaya telah terjadi kesepakatan umum bahwa dalam menetapkan ranking atau penghargaan si sekolah atau di masyarakat adalah prestasi, tapi pemberian reward di kelas secara tidak adil berpotensi untuk menciptakan kehancuran, namun karena anak-anak sudah menyadari bahwa penilaian terhasap seseorang berdasarkan prestasi maka masalahnya tinggal memastikan apa penilaian tersebut telah diberikan secara adil atau tidak, dengan 2 fungsi utama maka sekolah menjalankan dan menetukan mekanisme proses pembelajaran yang dimana dapat melahirkan sumberdaya manusia yang memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan masyarakat dengan tingkat kompleksitas yang dimilikinya.
c.       Kritik terhadap Parsons
Ganjalan yang amat dirasakan pada Parsons adalah obsesinya untuk membangun harmoni, tertib, dan integrasi masyarakat, Dalam dunia pendidikan pandangan Parsons tidak banyak menuai kritik, namun penjelasan-penjelasan Parsons terasa tidak sisertai dengan bukti empiric yang luas, Parsons juga mencoba menjawab bahwa teorinya tidak bias structural dan karenanya ia mencoba menjelaskan tindakan voluntarisme actor, karena tindakan actor pada hakikatnya adalah refleksi kehendak struktur, Parsons harus disebut sebagai eksponen yang menyebabkan teori structural fungsional ini memiliki bobot dan pengaruh yang luas dalam dunia sosiologi.


6. ROBERT K. MERTON
Merton adalah murid Talcott Parsons di Universitas Harvard, dan menjadi orang pertama yang memperoleh gelar Ph.D. Sejak awal tahun 1940an ia bekerja di Columbia University, Di kalangan ahli sosiologi ia memiliki reputasi tersendiri.
Merton adalah tokoh dalam tradisi fungsionalisme structural, dengan corak middle range theory yang banyak memakai referansi dari Max Weber, William I. Thomas, dan Emile Durkheim
Merton juga mengkritik teori – teori fungsional sebelumnya, termasuk karya gurunya Parsons yang ia nilai terlalu asyik dengan gaya berteori yang muluk-muluk (grandiose) dan berpotensi membangun teori besar (grand theory), dengan implikasi meremehkan teori-teori yang lebih kecil.
Merton dalam hal ini menawarkan 5 perspektif yang diurainya lebih baik :
1.      Karena teori fungsional sebelumnya terlalu berfokus pada grand theory (makro), sehingga sukar melihat rujukan empiris, maka Merton menawarkan middle-range theory.
2.      Jika sebelumnya teori fungsional terlalu makro maka masyarakat menjadi full integration jika diturunkan ke middle-range theory tidak akan terlihat seperti itu
3.      Betul fungsional, tapi harus dibedakan bentuk kontribusinya, mana fungsi yang menyebabkan kemunculan sesuatu dan mana yang menyebabkan sesuatu itu bertahan.
4.      Jika sebelumnya teori fungsional mencampurkan antara subjective disposition dan objectives concequences, menurutnya keduanya harus dibedakan antara mana yang manifest dan yang laten
5.      Teori sebelumnya kurang memberikan perhatian pada perubahan kalaupun ada itu adalah perubahan yang bersifat evolusi linear namun Merton menawarkan  perubahan social.
Dalam membangun teorinya, Merton mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang harus di jawab, salah satu pertanyaan yang ia jawab ialah pertanyaan yang berkaitan dengan tiga proposisi fungsional :
1.      Tidak mungkin kesatuan fungsional dapat mendorong terjadinya integrasi secara tuntas
2.      Tidak mungkin mengikuti argument fungsional yang berpandangan universal, dalam arti seluruh bentuk social dan kebudayaan yang sudah baku memliki fungsi-fungsi positif.
3.      Indispensability atau klaim fungsional yang menyatakan setiap tipe peradaban, kebiasaan, ide, obyek material dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan.
Merton juga menyoal tentang ketidakjelasan batasan yang dibuat teori fungsional, tentang motivasi dan konsekuensi obyektif, Merton juga sependapat dengan Parsons bahwa tindakan yang mapan atau terjadi berulang kali akan mempengaruhi bertahannya suatu sistem social, tapi Merton tidak memfokuskan kepada orientasi subyektif individu, yang sadar dapat di orientasikan untuk memenuhi persyaratan fungsional.
Merton menunjukkan bahwa motivasi yang secara sadar dan di ketahui diorientasikan kepada upaya menyumbang terpenuhinya syarat fungsional, tiada lain adalah fungsi manifest atau motif yang dimaksudkan, sedangkan dalam praktek tak jarang dijumpai fungsi laten yakni motive dengan konsekuensi obyektif yang tidak dimaksudkan dan tidak diketahui pembedaan antara motive dan konsekuensi obyektif dalam bagian di atas.

G. KRITIK TERHADAP STRUKTURAL FUNGSIONAL
Neofungsionalisme lahir dari tokoh Jeffrey C alexander yang mengemukakan kritik internal terhadap pandangan-pandangan teori fungsional dengan memperluas lingkup kajian intelektualnya sembari mengacu kepada dasar pemikiran fungsionalisme itu sendiri. Neofungsionalisme memimiliki orientasi berupa membuat model deskripsi masyarakat dengan pola-pola tertentu, berorientasi kepada level makro dengan memperhatikan struktur social dan budaya. Fenomena yang mengandung kemungkinan. Fenomena budaya dapat melahirkan ketegangan tersendiri dan perubahan social yang berlangsung melalui differensiasi dalam system kepribadian, budaya dan system social.

H. DESAIN PEMBELAJARAN DALAM PERSPEKTIF FUNGSIONALIS
Ada tiga unsur dalam desain pembelajaran menurut penganut funsionalis,yang pertama adalah kurikulum yang di angkat berdasarkan gagasan,konsep dan jenis pengetahuan yang ada dalam masyarakat yang memiliki nilai-nilai budaya. Dengan adanya nilai budaya yang terdapat dalam kurikulum yang kemudian di kembangkan menjadi karakteristik. Yang kedua adalah peranan guru yang bertugas untuk mengembangkan rasa tanggung jawab siswa ketika hidup dalam lingkungan kelompoknya, mendorong untuk membangun kesetiaan terhadap cita-cita dan nilai-nilai kelompok,berusaha mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Mengembangkan dan mematangkan skill siswa dengan keahlian yang di perlukan masyarakat. Kaum fungsionalis menganggap murid sebagai kotak kosong yang harus diisi oleh seorang guru,dalam hal ini proses pembelajaran masih berpusat pada guru sebagai sumber informasi.
Di mata penganut fungsionalis pendidikan harus mengacu kepada nilai-nilai kolektif yang di jadikan pengembangan tertib masyarakat. Prinsip moral yang ada di masyarakat di angkat melalui kurikulum dan di terapkan di sekolah dengan tujuan siswa mampu menjadi bagian untuk berperilaku baik demi terciptanya tatanan masyarakat yang tertib dan berperilaku tidak menyimpang. Sekolah harus menjadi institusi atau agen pencipta tertib social melalui siswa.

3 komentar:

Nula mengatakan...

Keren bang....... sangat membantu bisa menjadi contoh tugas ane nihh :D

Unknown mengatakan...

Minta refrensinya dong

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar