lagu

Popular Posts

PENDIDIKAN SEBAGAI PRAKTEK KEBEBASAN

Minggu, April 20, 2014 |



PENDIDIKAN SEBAGAI PRAKTEK 

KEBEBASAN


                                                              BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Pedidikan sebagai praktek pembebasan lahir dari usaha-usaha kreatife Freire dalam pemberantasan buta huruf orang-orang dewasa diseluruh brasil. bagi Freire pendidikan bukan hanya berteori namun lebih kepada praksis dengan perjuangan dan gagasan yang dapat di praktekkan. inilah mengapa pendekatan Freire dalam pendidikan, komunikasi dan teknologi dilakukan dengan sangat serius.
B.Rumusan Masalah
1.      bagaimana hubungan Pendidikan terhadapat masyarakat dan peralihan sebagai praktek pembebasan?
2.      bagaimana proses perubahan masyarakat anti demokrasi menjadi masyarakat demokrasi?
3.      apakah yang dimaksud pembelajaran masifikasi sebagai pembelajaran kritis?
4.      bagaimana cara melakukan pendidikan untuk manusia buta huruf?
5.      bagaimana kesalahpahaman gnososiologis bisa terjadi?
6.      bagaimana ekstensi dan invansi cultural terwujud?
7.      bagaiman transformasi proses reformasi agraris dan transformasi cultural?
8.      bagaimana bentuk pendidikan sebagai kondisi gnososiologis?
C.Tujuan
1.      untuk mengetahui fungsi pendidikan terhadap perkembangan masyarakat
2.      mengetahui proses perubahan masyarakat anti demokrasi menjadi masyarakat yang demokrasi.
3.      mengetahui pendidikan masidikasi sebgai pembelajaran kritis.
4.      mengetahui cara melakukan pendidikan untuk manusia buta huruf.
5.      mengetahui ekstensi dan kesalahpahaman gnososiologis.
6.      mengetahui bagaimana ekstansi dan invasi cultural bisa terwujud.
7.      mengetahui  bagaimana transformasi proses reformasi agraris dan transformasi cultural/
8.      mengetahui bentuk pendidikan sebagai kondisi gnososiologis.









BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENDIDIKAN SEBAGAI PRAKTEK PEMBEBASAN
Masyarakat dan Peralihan
Menjadi manusia berarti menjalin hubungan dengan sesama dan dengan dunia, dan dunia sebagai realitas obyektif yang tidak tergantung pada siapapun dan dapat dimengerti. Manusia berbeda dengan binatang, mereka tidak hanya ada di dalam dunia, tetapi ada bersama dengan dunia. Dalam menghadapi tantangan yang berbeda- beda manusia mempunyai cara yng berbeda- beda dalam menanganinya meskipun tatantangan itu sama dengan penuh kesadaran. Manusia yang berhubungan dengan dunia kritis berarti memahami data- data obyektif dari realitas melalui refleksi dan menyadari temporalitasnya. Maksudnya bahwa manusia itu ada dalam waktu, berada di dalam, di luar, mewarisi, melibatkan, dan mengubah. Sehingga tidak terkungkung dalam “hari ini” yang permanen tapi, muncul dan menjadi temporal. Karena demikian maka manusia menjadi penuh konsekuensi.
a)      Manusia berperan dalam dimensi kreatif, sehingga manusia dapat memasuki realitas dan mengubahnya. Dengan mewarisi pengalaman- pengalaman, menciptakan dan menciptakan kembali, mengintegrasikan diri dengan lingkungan, menanggapi tantangan- tantangan, melihat diri secara obyektif, merenung dan mengatasi, manusia memasuki bidang yang khas manusiawi, yakni sejarah dan kebudayaan. Adanya integrasi yang muncul dari kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan realitas, ditambah kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas.
b)      Manusia utuh adalah manusia sebagai subyek dan yang beradaptasi adalah manusia obyek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan yang rapuh  karena tidak mampu mengubah realitas. Meskipun dalam sejarah manusia telah mengatasi dan melawan faktor- faktor penyebab adaptasi namun, selalu diancam dengan berbagai tekanan. Karena selalu menanggapi tantangan lingkungan manusia menjadi dinamis, mulai menguasai dan memanusiakan realitas dengan memberikan arti temporal kepada ruang geografis dengan menciptakan kebudayaan. Dalam terbentukanya kebudayaan manusia memainkan peran yang menentukan dalam perwujudan dan pergantian kurun- kurun sejarah. Dan hanya dengan sikap kritis manusia dapat mengatasi kecenderungan- kecenderungan menyesuaikan diri dan menjadi terintegrasi dengan semangat zamannya. Bila suatu kurun itu secara dinamis menimbulkan tema- tema sendiri, maka manusia harus semakin banyak menggunakan akal budi, dan semakin sedikit menggunakan perasaan dan naluri.
c)      Tragedi terbesar manusia modern adalah mereka dikuasai oleh mitos- mitos dan dimanipulasi oleh iklan- iklan yang jitu, kampanye ideologis, dan sebaliknya. Manusia mempunyai kehilangan untuk memilih dan mengambil keputusan. Dalam Escape from Freedom, Erich Fromm mengatakan:
d)      “(Manusia) menjadi bebas terhadap ikatan- ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya bertindak dan berpikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak dengan bebas jika ia tahu tentang apa yang diinginkan, dipikirkan, dan dirasakan. Tapi, masalahnya ialah bahwa ia tidak tahu. Dan karena itu ia akan menyesuaikan diri dengan penguasa- penguasa yang tidak dikenal dan ia akan mengiyakan hal- hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, semakin ia tidak berdaya untuk merasa dan semakin ia ditekan untuk menurut. Manusia modern, meskipun dipulas dengan optimisme dan inisiatif, dikuasai oleh perasaan amat tidak berdaya bagaikan orang lumpuh yang hanya mampu menatap malapetaka sebagai tak terhindarkan.
e)      Suatu masyarakat yang sedang mulai bergerak dari satu ke kurun yang lain membutuhkan perkembangan jiwa yang luwes dan kritis. Setiap transisi melibatkan perubahan, namun tidak setip perubahan melahirkan transisi. Dalam masa transisi itu, pendidikan merupakan tugas mendesak. Potensialnya tergantung pada kemampuan kita untuk berperan dalam gerak transisi itu. Dalam proses transisi ada manusia dan lembaga- lembaga yang dapat terpecah menjadi dua kategori besar – kaum reaksioner dan kaum progresif, semakin banyak benturan maka menimbulkan kecenderungan untuk menjadi radikal.
f)       Radikalisasi berarti semakin meningkatnya keterlibatan orang pada pihak yang dipilihnya. Ini terutama adalah sikap kritis, cinta, rendah hati, dan komunikatif, dan dengan demikian positif. Orang radikal adalah subyek, sejauh mereka menangkap kotradiksi- kontradiksi sejarah dengan cara yang semakin kritis, namun tidak menganggap diri pemilik sejarah. Namun, masyarakat mulai menyadari dirinya  sebagai sesuatu yang belum selesai, bukan sebagai sesuatu yang telah dikehendaki oleh takdir; sesuatu yang menantang dan bukan keterbatasan yang tanpa harapan.  Lalu ketika retaknya masyarakat tertutup berkembang ke arah apa yang oleh Mennheim disebut sebagai fenomena “demokratisasi fundamental”. Kemudian munculah demokrasi ganjil dan asistensialisme,  demokrasi ganjil maksudanya adanya perlindungan kepada rakyat dari apa yang mereka namakan “ideologi- ideologi asing” – yakni apa saja yang menggugah rakyat untuk bangkit dan aktif dalam proses sejarah, sedangkan asistensialisme sebagai usaha untuk melemahkan partisipasi rakyat dalam proses sejarah, dan merupakan cara yang paling merusak.
g)      Dalam transisi memerlukan pemecahan yang cepat dan tepat untuk masalah- masalahnya maka dibutuhkan bentuk suatu pendidikan yang dapat menjadikan rakyat mampu merefleksi diri mereka, tanggung jawab mereka,  dan peran mereka dalam iklim kebudayaan yang baru – dan tentu saja merefleksi kekuatan- kekuatan refleksi mereka.  Tenggelamnya manusia dalam proses sejarah ditandai oleh apa telah saya lukiskan sebagai kesadaran semiintransitif. Kesadaran semiintransitif menggambarkan keterpisahan antara manusia dengan eksistensinya. Adanya kesadaran transitif-naif, yakni kesadaran dari manusia yang masih menjadi bagian dari massa, di mana perkembangan kemampuan berdialog masih rapuh dan mudah diselewengkan. Transitif-naif mempunyai perkebangan untuk menuju kesadaran transitif-kritis yang menandai mentalitas demokrasi sejati. Perlu diketahui bahwa tujuan terakhir manusia adalah untuk menjadi manusia yang otentik, usaha ini merupakan suatu keharusan.
Masyarakat Tertutup dan Tiadanya Pengalaman Demokrasi
Masyarakat tertutup, terjajah, diperbudak, tiruan dan antidemokrasi merupakan titik tolak dari masa transisi Brasil. Ciri yang menonjol adalah tiadanya pengalaman demokratis yang menjadi penghalang besar bagi demokratisasi. Brasilia berkembang dalam kondisi-kondisi yang menghalangi bertambahnya pengalaman demokrasi, kondisi kepala tertunduk, ketakutan terhadap mahkota, tiadanya pers, tanpa hubungan luar negeri, tanpa sekolah, tanpa memiliki suara sendiri. Kolonialisasi yang didasarkan oleh eksploitasi ekonomi atas kepemilikan tanah yang luas dan tenaga budak yang tidak dapat menerima struktur demokrasi dan struktur politik. Karena kepemilikan tanah yang luas dan terpisah-pisah ini, penduduk tidak punya pilihan lain selain menjadi anak buah dari para tuan tanah. Keadaan-keadaan ini menularkan kebiasaan-kebiasaan penindasan dan ketergantungan yang masih menonjol pada saat ini dalam bentuk pendekatan-pendekatan paternalistis terhadap masalah-masalah. Perkebunan yang sangat luas, langkanya penduduk karena negara induk menghambat usaha pemukiman, semangat dagang para perantau, mengakibatkan terciptanya lembaga perbudakan. Ini menciptakan serangkaian hambatan dalam pembentukan mentalis demokratis dan pembentukan kesadaran yang terbuka.
            Di Brasilia titik berat kehidupan pribadi dan kehidupan sosial rakyat berpusat pada kekuasaan dan wibawa yang terdapatdi luar negeri. Manusia dihancurkan oleh kekuasaan tuan tanah, gubernur, kapten dan raja muda. Rakyat mengembangkan kesadaran yang diresapi oleh penindasa, bukan kesadaran bebas dan kreatif yang mutlak diperlukan oleh rezim demokratis sejati. Brasilia tidak pernah mengalami kepekaan bermasyarakat, berpartisipasi dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang muncul. Dalam kota-kota yang dilanda kemiskinan, dihisap dan dicekik oleh kekuatan ekonomi yang sangat besar dari perkebunan-perkebunan besar, sangat tidk mungkin tumbuh kehidupan kota yang demokratis. Orang-orang tidak diikutsertakan dalam proses pemilihan dan tidak diperbolehkan menentukan nasib sendiri.
            Pada tahun 1808 Dom Joao VI dari Portugis sampai di Rio de Janeiro. Lalu terjadilah pengambilalihan tata pemerintahan Portugis ke Rio de Janeiro yang memberikan kemungkinan baru dalam pengalaman demokrasi. Serangkaian pembaharuan dengan masuknya pengadilan Portugal telah mendorong industri dan aktifitas kota, berdirinya sekolah-sekolah, pers, perpustakaan dan pendidikan teknik. Kota-kota tumbuh kuat dengan mundurnya bangsawan-bangsawan desa. Pergeseran kekuasaan ke kota-kota ini, yang mulai memainkan peranan aktif dalam kehidupan nasional. Namun tetap, kekuatan terletak di tangan kaum borjuis kaya, para lulusan universitas. Pada akhirnya perubahan ekonomi besar mulai mempengaruhi sistem kekuatan-kekuatan yang mempertahankan masyarakat tertutup dalam keseimbangan dan dengan berakhirnya keseimbangan itu, retaknya masyarakat makin terbuka dan memasuki fase transisi. Negeri ini mulai menemukan dirinya sendiri. Rakyat bangkit dan mulai berpartisipasi dalam proses sejarah. 
Pendidikan Berhadapan Dengan Modifikasi
Sejak awal masa transisi Brasilia,terlaksananya pembangunan ekonomi adalah esensial untuk menunjang demokrasi,dan dengan demikian untuk mengakhiri kekuasaan menindas dari para orang kaya atas para orang miskin.Pembangunan ini harus bersifat otonom dan nasional.Pembangunan harus membatasi diri tidak hanya pada persoalan-persoalan teknis atau kebijakan ekonomi ”murni” atau pembaharuan structural,tetapi juga harus melibatkan pergeseran mentalitas ke mentalitas yang lain.
Dari para pendidik andil khusus yang diperlukan untuk masyarakat yang baru lahir ini ialah pendidikan kritis yang akan membantu terbentuknya sikap-sikap kritis,mengangkat kesadaran naïf rakyat yang telah menenggelamkannya dalam proses sejarah dan membuatnya mudah termakan irasionalitas.Hanya pendidikan yang memperlancar pergeseran kesadaran transitif naïf ke kesadaran transitif kritis yang akan mengembangkan kemampuan manusia untuk melihat tantangan-tantangan dari zamannya yang akan dapat menyiapkan rakyat untuk melawan kecenderungan emosional dari masa transisi.
Dengan bangkitnya kesadaran rakyat,mereka menyadari bahwa kaum elit memandaang mereka dengan sikap jijik, sehingga dalam memberikan reaksi terhadap kaum elit ini mereka cenderung bersifat agresip setiap kali ada kesempatan.Sebaliknya, kaum elit yang takut legitimasi kekuasaanya terancam akan berusaha dengan kekerasan atau dengan paternalism untuk membungkam dan menjinakan massa.
Semakin transisi rakyat brasilia bergerak kea rah posisi irasional,semakin kita perlu secepatnya menciptakan pendidikan yang mendorong sikap-sikap kritis.masyarakat seperti kita yang mengalami perubahan mendasar terkadang mendadak yang mendorong partisipasi rakyat dalam kehidupan nasional memerlukan tidak hanya pembaharuan lembaga-lembaga pendidikan akan tetapi juga aspek-aspek edukatif dan organisatoris dari lembaga-lembaga lain,untuk membangkitkan pendekatan total terhadap tanggung jawab serta keputusan-keputusan social dan politik.
Meskipun Brasilia belum memasuki fase dimana “perubahan-perubahan utama dijalankan melalui pertimbangan bersama” tetapi brasilia sedang bergerak kea rah itu,jika fenomen partisipasi rakyat tidak semakin mundur menjadi emosional,melainkan menjadi semakin kritis.Pendidikan yang dituntut oleh situasi kita adalah pendidikan yang membuat manusia berani membicarakan masalah-masalah lingkungannya dan turun tangan dalam lingkungannya tersebut.Pendidikan yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dan memberikan kepercayaan dan kekuatan untuk menghadapi bahaya-bahaya tersebut.Pendidikan ini akan menolong manusia untuk meningkatkan sikap kritis terhadap dunia dan dengan demikian mengubahnya.
Pendidikan baru harus membekali manusia dengan kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap kecenderungan “mencabut akar” dari kebudayaan industry meski kebudayaan itu ditandai juga oleh kemampuan untuk menaikkan standar hidup.
Dalam dunia yang ditandai oleh teknologi maju produksi massa sebagai pengorganisasian tenaga kerja manusia barangkali merupakan salah satu alat paling potensial untuk masifikasi manusia.Produksi massa menuntut manusia untuk tidak memiliki sikap kritis menyeluruh terhadap produksi sehingga produksi massa menidakmanusiakan manusia.Dalm spesialisasi secara berlebihan produksi massa mempersempit manusia,sehingga ia membatasi cakrawala-cakrawala manusia membuat manusia pasif,cemas dan naïf.
Brasilia mengalami periode perubahan semacam itu dari kota0kota besar.Dari situ radio,bioskop,televise,jalan raya,dan angkutan udara membawa pengaruh-pengaruh pembaharuan kepada kota-kota yang lebih kecil dan lebih terbelakang.Seiring dengan itu kesadaran transitif yang baru muncul diikuti juga oleh gejolak-gejolak pemberontakan rakyat.Rangsangan-rangsangan baru yang ditimbulkan oleh masyarakat “terbuka” mendorong timbulnya sikap-sikap mental aktivis yang kompleks.Namun demikian tampilnya rakyat secara mendadak dari tahap sebelumnya dimana mereka tenggelam dalam realitas membuat rakyat sedikit banyak bingung atau dibuat bingung oleh pengalaman baru yang berupa partisipasi dan aktivisme mereka mengambil bentuk pemberontakan yang naïf dan amat emosional.
Kritik bahwa orang brasilia terlalu banyak cakap sering dihubungkan dengan kritik bahwa pendidikan brasilia “teoretis”.Kritik itu secara salah menyamakan teori dengan verbalisme.Sebaliknya kita sebenarnya tidak mempunyai teori.Suatu teori yang muncul dari penanganan realitas,kontak analitis dengan eksistensi yang memungkinkan seseorang membenarkan dan mengalami eksistensi itu secara penuh dan utuh.
Kebudayaan kita yang verbal berhubungan dengan kekurangan kita dalam kemampuan berdialog,menyelidiki dan meneliti.Pada masa transisi membawa kita untuk menghadapi realitas dengan cara yang sistimatis.Pendidikan tidak boleh membuat orang yang mau menganalisis realitas menjadi takut atau takut ditertawakan sehingga menghindari diskusi kreatif.
Sebelum terbentunya ISEB (Instituto Superior de Estudos Brasileiros) membentuk suatu kejuatan gagasan dari integrasinya dengan penemuan-penemuan baru dan nilai baru sehubungan dengan realitas nasional.Dua konsekuensi penting muncul.kekuatan kreatif para cendekiawan yang berniat mengabdi kebudayaan nasional dan keinginan para cendekiawan untuk terikat sebuah realitasnya.
Pendidikan Dan Konsientisasi
Menurut Mannheim bahwa semakin proses demokratisi menyebarluas, semakin sukar untuk menyuruh rakyat tinggal dalam kebodohan. Mannheim tidak mempersempit pengertian bodoh dengan buta huruf saja, melainkan meliputi juga tiadanya pengalaman berpartisipasi dan campur tangan dalam proses sejarah. Nasionalisme,mengalirnya kekayaan keluar negeri, perkembangan politik brasilia, pembangunan, buta huruf, hak suara kaum buta huruf, demokrasi adalah beberapa tema yang setiap kali muncul dari kelompok-kelompok. Usaha pemberantasan buta huruf pertama kali kami jalankan di recife, dengan kelompok yang diikuti oleh lima orang buta huruf, dua diantaranya berhenti pada hari kedua atau ketiga. Kami berpendapat bahwa dalam pengajaran orang dewasa masalahnya terletak pada bagaimana mengaitkan pelajaran membaca dengan sekaligus membangkitkan kesadaran mereka. Kami memulai dengan keyakinan bahwa manusia tidak hanya berperan sebagai ada dalam dunia tetapi terlibat dalam hubungan bersama dengan dunia, dengan pencipta dan mencipta lagi, manusia menyusun realitas cultural dan menambahkannya pada realitas natural yang tidak dibuat oleh manusia.
Hubungan antidialog adalah hubungan vertical antar manusia. Itu ditandai oleh tiada cinta, tidak kritis, dan tidak dapat menciptakan sikap kritis, puas diri dan keangkuhan tanpa harapan. Kebudayaan adalah sajak-sajak dari dunia melek huruf akan tetapi juga lirik-lirik dalam lagu rakyat kebudayaan adalah semua ciptaan manusia. Fransisco brenand, salah seorang pelukis besar brasilia dewasa ini membuat kodifikasi Ini dalam lukisan-lukisan dan secara sempurna memeukan pendidikan dengan kesenian. Sangatlah menarik menyaksikan betapa bersemangatnya orang-orang buta huruf terlibat dalam dikusi-diskusi dan mencoba menjawab persoalan-persoalan yang secara implicit termuat dalam kodifikasi.
Mendidik orang bagaimana membaca dan menulis dalam bahasa silabik seperti bahasa portugis adalah memperlihatkan secara kritis bagaimana kata-kata dibentuk, sehingga mereka sendiri akhirnya dapat secara kreatif membentuk kata-kata melalui penggabungan suku-suku kata. Program ini dilaksanakan dalam beberapa fase:
ü  Fase 1. Meneliti kosakata dari kelompok masyarakat dimana pemberantasan buta huruf akan di selenggarakan. Selama fase permulaan ini tim pendidik sekaligus menjalin hubungan yang amat berharga dan sering kali pula secara tidak terduga menemukan keindahan dan kekayaan bahasa rakyat.
ü  Fase 2. Dari penelitian kosa kata di atas kemudian dilakukan pemilihan kata-kata generative. Emilihan itu mengikuti criteria ini.
a.       Kekayaan fonemik,
b.      Kesulitan fonetik,
c.       Sifat pragmatis.
ü  Fase 3. Penyusunan kodifikasi menampilkan kembali situasi-situasi eksistensial  yang khas pada kelompok bersangkutan.
Dengan mendiskusikan kodifikasi-kodifikasi ini, kelompok akan berkembang kea rah kesadaran yang semakin kritis, serentak mereka belajar membaca dan menulis.
ü  Fase 4. Penyusunan agenda bukan sebagai jadwal ketat yang tak bisa ditawar-tawar lagi, melainkan sekedar pedoman bagi para coordinator.
ü  Fase 5. Penyiapan kartu-kartu yang memuat pilihan-pilihan berupa suku-suku kata yang secara fonetik “berkeluarga”dengan kata-kata generative.
Bagaimana kita dapat menjelaskan fakta bahwa seseorang yang beberapa harisebelumnya masih buta huruf tiba-tiba dapat menuliskan kata-kata dengan fonem yang kompleks, bahkan sebelum itu diajarkan.Metode pendidikan yang aktif yang membantu seseorang untuk makin menyadari lingkungnnya dan kondisinya sebagai subyek, juga akan menjadi perangkat untuk memilih. Seseorang menggerogoti demokrasi dengan membuatnya tidak rasional. Dengan membuatnya kejam dengan dalih untuk mempretahankan diri terhadap kekejaman totaliter. Dengan membuatnya penuh kebencian, padahal demokrasi hanya bisa berkembang dalam suasana cinta dan hormat terhadap pribadi.
Seseorang menegakkan demokrasi bila ia membawanya kea rah apa yang oleh manheim disebut “demokrasi militant”, demokrasi yang tidak menakut-nakuti rakyat, yang menolak adanya hak-hak istimewa, yang merencana tanpa menjadi kejam, yang mempertahankan diri tanpa menjadi benci, yang ditumbuhkan oleh smangat kritis dan bukan oleh semangat yang tidak rasional.

B. EKSTENSI ATAU KOMUNIKASI
Analisis Sematik Atas Kata Ekstensi
Ekstensi dari segi sintaksis adalah kata kerja relative transitif yang melibatkan dua pihak, mengekstensikan sesuatu kepada. Dalam arti ini orang-orang menyebarluaskan sesuatu kepada atau kea rah seseorang yang hanya menerima isi tindakan verbal. Para pelaku ekstensi pedesaan tentu tak pernah berpikir bahwa tindakan mereka dapat memiliki arti seperti dalam “Charles mengekstensikan tangannya.  Tindakan ekstensi melibatkan hubungan antara manusia dengan dunia agar manusia lebih terampil mengubah dunia. Jadi, konsep ekstensi yang ditandai oleh pengalihan teknik dan pengentahuan adalah langsung bertentangan dengan pandangan humanis sejati.
Ekstensi Dan Kesalahpahaman Gnosiologis
Hubungan antara manusia dengan dunia sebagai fakor yang mendasari pengetahuan manusiawi, atau pun kategori dan tingkat pengetahuan itu. Untuk itu saya akan menunjukkan kesalahpahaman gnosiologis yang diakibatkan oleh konsep ekstensi. Kesalahpahaman gnosiologis dari konsep ekstensi pertama-tama terletak pada hal berikut: kalaupun ada unsure dinamis dalam praktek yang berpedoman pada konsep itu, maka dipersempit menjadi tindakan ekstensi apa yang di kestensikan menjadi status. Akibatnya, subyek yang mengekstensikan bersifat aktif. Mereka menjadi actor di hadapan penonton yang hanya diisi.
                               Pengetahuan adalah tugas para subjek bukan objek. Seorang manusia, pria maupun wanita dapat mengetahui bila berlaku sebagai subjek. Dalam proses beljar, orang yang sungguh-sungguh belajar hanyalah mereka yang menyetujui apa yang dipelajarinya, mereka yang dapat menerapkan apa yang dipelajari kepada situasi ekstensial kongkret. Jadi, dalam situasi pengetahuan, guru dan murid harus memainkan eranan subjek yang sadar, yang diperantaui atau yang dijembatani oleh objek-objek yang ingin mereka ketahui, objek-objek yang dapat diketajui. Konsep kestensi tidak memungkinkan hal ini. Dari sudut gnosiologis, apa yang dapat dikerjakan adal  ekstensi mungkin hanyalah menunjukkan kepada rakyat, tampa relevansi atau menyingkapkan adanya sesuatu yang baru, yakni isi yang diekstensikan.
                               Bagaimanapun semakin kita mengamati pola tingkah laku dan kebiasaan berpikir para petani, semakin kita dapat menyimpulkan bahwa di daerah-daerah tertentu mereka begitu dekatnya dengan alam sehingga mereka lebih merasa sebagai bagian alam daripada sebagai pengubah dunia. Salah paham gnosiologis seperti dalam istilah ekstensi tidak membantu apa-apa dalam kerja sama dengan para petani untuk meninggalkan cara-cara magis menuju cara-cara kritis.
                               Dengan demikian, mengganti raktek pratek empiris para petani dengan teknik-teknik maju serentak merupakan problem antropologis, epitemologis, dan structural. Masalah-masalah itu tak dapat dipecahkan dengan kekeliruan gnosiologis yang ermuat dalam konsep ekstensi. Pengetahuan tidak diektensikan dari mereka yang menganggap diri sendiri mengerti kepada mereka yang menganggap diri tidak mengerti. Usaha yang diperlukan bukannya ekstensi melainkan konsientisasi. Bila konsientisasi dijalankan secara berhasil, maka individu-individu menjadi mungkin untuk memainkan peranan kritis mereka dalam hubungannya dengan dunia. Ini beraerti bahwa konsep ekstensi, sudah dianalisis dari sudut sematik dan dari sudut kekeliruan gnosiologis, tidak dapat cocok dengan tugas teknis dan humanistis pokok dari para agronom.
Ekstensi dan Invansi Kultural – Sebuah Kritik Penting
Manusia adalah ada yang yang bekerja, yang berbahasa pikiran, yang bertindak dan mampu merefleksi diri. Manusia dalam hidupnya akan selalu bertindak. Tindakan-tindakan manusia dalam dunia dikondisikan oleh hasil-hasil tindakan mereka sendiri. Dikehendaki atau tidak kita harus memiliki pengertian jernih dan terang atas tindakan kita. Peranan refleksi akan membuat kita berreaksi terhadap tindakan atau aksi, mempersoalkan tujuannya, alat-alatnya, dan kemanjurannya.
Invasi kultural merupakan salah satu dari berbagai sifat teori aksi. Setiap invasi diartikan sebagai subyek yang menindas. Mereka yang menginvasi orang lain sama artinya mengikis atau menggerogoti situasi cultural-historis orang lain dan memaksakan sistem nilai mereka kepada orang lain. Bagi penindas menjadi orang yang ditindas sebagai obyek semata-mata. Hubungan antara penindas dengan yang ditindas adalah hubungan yang bertolak belakang. Hubungan itu adalah hubungan kekuasaan atau otoritas. Para penindas memberikan perintah, yang tertindas mengerjakan apa yang diperintahkan. Demi efektivitas invasi kultural, agar tujuan-tujuannya tercapai, tindakan penindas harus ditunjang dengan tindakan-tindakan penunjang. Karena itu  setiap invasi kultural memerlukan penaklukan, manipulasi, dan mesianisme para penindas. Para penindas memerlukan propaganda yang lebih bersifat menjinakkan daripada membebaskan. Karena invasi kultural adalah penaklukan maka untuk mempertahankan diri penindas perlu penaklukan-penaklukan berikutnya.
Bagi para penindas propaganda, slogan dan mitos merupakan alat-alat yang digunakan untuk meraih tujuan mereka. Untuk menjadikan para tertindas sebagai taklukan yang patuh. Bagi para penindas ada keharusan untuk menghancurkan ciri-ciri budaya mereka yang tertindas, menghapus dan menggantinya dengan hasil kebudayaan penindas. Ciri lain yang tak terpisahkan dari teori antidialog adalah manipulasi. Manipulasi merupakan tindakan penindas untuk menanamkan ilusi atau kebohongan kepada tertindas bahwa tindakan tertindas sudah melalui tindakan manipulator. Manipulasi dan penaklukan, sebagai cerminan dari invasi kultural, merupakan alat untuk menjinakkan.
Humanisme yang sejati menolak adanya manipulasi atas alasan apapun. Bagi humanisme tidak ada jalan lain selain berdialog. Humanisme menghidupkan dialog. Dialog tidak menindas, tidak memanipulasi, tidak mengobral slogan-slogan. Dialog dalah pertemuan cinta antara manusia yang diperantai oleh dunia, memproklamirkan dunia. Dialog mengubah dunia, dan dengan mengubah dunia ia memanusiakan dunia manusia. Dengan berdialog kita mempersatukan perbedaan yang ada. Invasi kultural tidak mungkin dijalankan lewat dialog. Karena antidialog dan dialog dan dialog terjelma dalam bentuk-bentuk tindakan yang berbeda.
Begitu pula dalam dunia pendidikan, pendidikan bersifat dialogis. Jadi peranan guru sangat penting dalam situasi apapun. Tugas pendidik bukanlah mengisi terdidik dengan pengetahuan, baik teknis maupun yang lain. Tugas mereka lebih mengusahakan cara berpikir baru. Melalui hubungan dialogis dan pendidikan bersifat dua arah. Murid terbaik dalam suatu pelajaran bukan murid yang hafal rumus-rumus atau teori tetapi harus memahami rumus-rumus atau teori yang ada. Para pendidik yang takut akan dialog akan cenderung menyukai pembicaraan yang panjang lebar. Dan mereka cenderung meninabobokan kemampuan kritis para murid. Murid didorong untuk belajar dan tahu. Bukan memahami. Murid hanya sebagai pendengar tanpa mampu menyuarakan pengalaman mereka. Dan mengerjakan apa yang diperintahkan guru. Jadi pembelajarannya cenderung tidak bermakna. Jika seperti ini bukankah guru atau pendidik sama halnya dengan penindas. Dialog dan pengajuan problem tak pernah meninabobokan siapapun. Dalam dialog dan pengajuan problem, pendidik dan peserta didik bersama-sama membangun sikap kritis.
Reformasi Agraris, Transformasi Kultural, dan Peranan Agronom-Pendidik
Para agronom menjadi pendidik dan pelaku pembaharuan. Mereka ada bersama petani untuk menjadi subyek perubahan. Termasuk reformasi pertanian. Reformasi pertanian sebagaimana proses perubahan struktural, tidak dapat diartikan sebagai proses mekanistis, yang diluar waktu, yang tidak perlu partisipasi manusia. Pembaharuan pertanian bukanlah soal teknis semata melainkan melibatkan keputusan-keputusan politik yang mempengaruhi dan mendorong usul-usul teknologis yang tidak netral, yang menunjukkan kedudukan ideologis dari para ahli teknologi. Jika pembaharuan pertanian dipandang sebagai proses pembangunan yang menghasilkan modernisasi pedesaan modernisasi pertanian. Maka yang dihasilkan bukan pergeseran yang lama ke yang baru melainkan yang baru hanya menempel ke yang lama.
Dalam konsep tidak mekanistis yang baru muncul dari yang lama melalui perubahan yang kreatif yang dihasilkan dari teknologi maju yang dikombinasikan dengan metode-metode dari para petani. Sebagai proses yang menyeluruh proses pembaharuan pertanian tidak terbatas pada tindakan-tindakan yang menyeluruh pada bidang produksi pertanian saja, dan komersialisasi teknik dan lain-lain. Dari pembaharuan pertanian akan muncul transformasi kultural antara para petani, agronom, pendidik, teknolog pertanian, peniliti, administrator, dan perencana. Saling bertukar pikiran bagaimana cara memperbaharui pertanian tanpa mengabaikan kondisi social dan alam.
Diilhami dari oleh pandangan kritis atas pembaharuan pertanian, para agronom harus memusatkan perhatian lebih dari sekedar bantuan teknis. Sebagai pelaku pembaharuan bersama-sama dengan petani untuk masuk dalam proses perubahan. Dalam proses pembaharuan ini menjadi tugas agronom yaitu pendidik yang terlibat, yang memasuki, proses transformasi bersama dengan  para petani sebagai subyek bersama dengan subyek yang lain.
Ekstensi atau Komunikasi
Seperti yang sudah disebutkan dalam awal bab ini, bahwa latar belakang penulisan ini adalah usaha para agronom untuk merubah pemikiran-pemikiran para petani di Brazilia. dengan menggunakan “ekstensi” yang dimilikinya para agronom masih belum bisa “masuk” serta merubah pemikiran para petani di Brazilia. dalam bab ini menjelaskan pentingnya komunikasi dalam usaha pendidikan para petani oleh para agronom serta memahami keadaan sosio-kultural para petani.
setiap tindakan berfikir mengadaikan adanya subyek yang berfikir, suatu obyek pemikiran yang menjembatani subyek-subyek yang berfikir, dan komunikasi antar subyek-subyek itu seperti terwujud dalam tanda-tanda linguistic. subyek yang berfikit tersebut idak dapat berfikir sendirian, dalam memikirkan obyek ia tidak dapat memikirkannya tanpa kopartisipasi subyek lain. dengan demikian obyek bukanlah sasaran berfikir, namun sebagai jembatan komunikasi.
seorang pendidik bukanlah orang yang menganggap dirinya sebagai subyek yang serba tahu dihadapan obyek yang dapat diketahui dan sesudah mengetahuinya mulai mengkhotbahkannya didepan para terdidik. pendidikan adalah komunikasi dan dialog. pendidikan adalah perjumpaan subyek-subyek dalam dialog dalam rangka usaha mencari obyek.
  dan seperti yang digambarkan dalam buku ini, tidak cukup hanya mengandalkan ekstensi para agronom untuk memahami dunia serta cara para petani di Brazilia. namun, perlu adanya komunikasi dalam usaha mendidik para petani karena tanpa komunikasi para agronom tidak akan memahmi dunia sosio cultural mereka dan jika tanpa memahami sosio cultural para petani maka pendidik tidak akan bisa menanamkan teori-teori mereka.begitu pula yang akan terjadi pada pendidikan guru harus terlebih dahulu memahami siswanya agar mudah menanamkan teori-teori dalam kelas.
Pendidikan Sebagai Kondisi Gnosiologis
Secara harfiah pengertian gnosiologis merupakan hubungan dengan tuhan YME. namun, dalam konteks pendidikan ini gnosiologis memiliki arti bahwa pendidikan itu tidak bersifat abstrak dan harus benar-benar realistis. manusia harus dilihat dalam interaksinya dengan realitas yang dirasakan dan dimengertinya. dan manusia menjalankan perubahan atas realtas itu. dan berdasarkan realitas itulah tullisan ini mendiskusikan bahwa pendidikan sebagai sesuatu proses terus-menerus bagi pemebasan manusia.
Pendidikan sebagai kondisi gnosiologis mmerupakan proses komunikasi dan menerima komunikasi (dialog) bukan hanya sekedar “pendidikan palsu” yang dikaakan dalam tulisan ini dimana “pendidikan palsu” ini hanya proses “menjinakkan” terdidik. menjinakan dalam artian pendidikan



















BAB III
PENUTUP
Bahwa seseorang hanya dapat mengetahui bla “mempermasalahkan” realitas natural, cultural dan historis yang melingkunginya. problematisasi seperti itu adalah antithesis dari apa yang para teknorat disebut problem-solving.































SUMBER:
·         “Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan”,Freaire P, Jakarta 1984, PT Gramedia

0 komentar:

Posting Komentar