PERKEMBANGAN
PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sosiologi merupakan bidang kajian yang memiliki
implikasi penting terhadap tumbuh berkembangnya manusia dalam dunia pendidikan.
Sosiologi memberi sumbangan yang berarti bagi mereka yang tertarik dalam
upayamelakukan kajian kritis terhadap apa yang terjadi di masyarakat. Jika kita
bisa memahami apa yang ada di lingkungan sekitar, maka besar peluang kita untuk
dapt mengendalikan perubahan masyarakat.
Sosiologi merupakan pendekatan studi tentang
pendidikan, menghantarkan untuk memahami kaitannya sosiologi dengan pendidikan.
Sosiologi pendidikan memiliki perspektif yang beragam, sejalan dengan keragaman
yang terjadi dalam perspektif kajian sosiologi pada umumnya. Juga memahami
pembagian perspektif sosiologi pendidikan yang berorientasi makro dan mikro
dengan sejumlah teori yang berpayung di dalam perspekrifnya. Sosiologi
pendidikan dapat membantu memahami perencanaan, proses implementasi dan
implikasi penerapan progam maupun kebijakan tertentu.
2.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan Sosiologi sebagai Pendekatan Studi Pendidikan?
2.
Bagaimana
Perspektif Kajian Sosiologi Pendidikan?
3.
Bagaimana
Penjelasan Paradigma Baru pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SOSIOLOGI SEBAGAI PENDEKATAN STUDI PENDIDIKAN
Sosiologi pendidikan baru menjadi fokus perhatian
sosiolog Inggris sejak awal 1970 dan memiliki pendukung di AS dan di
tempat-tempat lain. Sosiologi pendidikan merupakan kajian bagaimana Institusi
dan kekuatan sosial mempengaruhi proses dan outcome pendidikan dan begitu pula
sebaliknya. Pendidikan, seperti dikatakan sargent (1994) merupakan instrumen untuk
mengatasi kesenjangan, mencapai derajat kesetaraan yang tinggi dan mencapai
tingkat kesejahteraan yang baik bagi siapa saja. Pembelajaran memiliki semangat
dan motivasi mengejar aspirassi menuju kemajuan dan usaha menjadi manusia yang
terbaik. Pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Schofield (1999) memposisikan
diir sebagai tempat bagi mereka untuk mengembangkan diri berdasarkan keunikan
potensi dan kepentingannya masing-masing.
Sosiologi pendidikan memerlukan
alternatif jika ingin memahami sistem pendidikan. Dalam hal ini perlu pemahaman
dasar tentang realitas, bagaimana kita memandang peristiwa dan situassi di
sekitar kita serta cara kita memberikan respon. Dalam masyarakat seperti ini,
ilmu pengetahuan menjadi instrumen penting dalam perkembangan masyarakat.
Masyarakat berbasis ilmu pengetahuan memiliki tradisi yang berbeda dengan
massyarakat sebelumnya. Cara mengembangkan tindakan, memilih identitas,
mengajukan persoalan dan jawaban, selalu dikaitkan dengan tradisi keilmuan.
Pilihan tindakan masyarakat berbassis pengetahuan, menurut sejumlah ahli bahkan
telah disertai dengan kecenderungan menuju tradisi baru.
Menghadapi perkembangan seperti itu,
maka pendidikan sebagai insitusi produksi dan reproduksi pengetahuan menjadi
semakin membutuhkan perangkat analisis dalam memahami perilaku masyarakat. Ada
beberapa alasan yang mendasari pengembangan pendidikan yang harus dilandasi
dengan konsep dan teori-teori sosial.
Pertama, pendidikan mau tiak mau harus bisa
menyiapkan sebuah generasi yang siap memasuki masyarakat yang berubah menuju
masyarakat yang berbasis pengetahuan. Jika pendidikan tidak menghasilkan
manusia yang siap memasuki masyarakat dengan segala bentuk tuntutan dan
karakternya, maka pendidikan akan dianggap gagal memberikan bekal dan prasyart memasuki
perubahan dan masa depan.
Kedua, praktisi pendidikan dapat merumuskan cara
menetapkan orientasi yang relevan dengan dunia yang berubah di satu pihak,
namun di lain pihak dunia pendidikan tidak mengalami distorsi dan disorientasi.
Pendidikan bagaimanapun merupakan tempat yang bertanggung jawab dalam
menumbuhkan tata nilai kemanusiaan, tata masyarakat yang disemangati oleh
prinsip keadilan dan kesejahteraan bersama.
Ketiga, pendidikan harus dikaitkan dengan
perkembangan dan dinamika lingkungan masyarakat. Pendidikan harus mampu membawa
siswanya memahami bahwa dunia yang mereka hadapi sekarang berubah cepat. Jadi
pendidikan tidak diselenggarakan di lingkungan yang kosong. Pendidikan
diselenggarakan ditengah masyarakat yang mengalami perubahan. Dunia pendidikan
perlu merumuskan peranan cara tersendiri dalam mengantisipasi munculnya
berbagai isu perubahanmasyarakat tersebut. Oleh karna itu akan sangat terbantu
jika pendidikan dapat memanfaatkan ilmu-ilmu sosial.
Sosiolog pendidikan yang baik, memiliki kepekaan dan
kesadaran moral yang tinggi sehingga mereka mampu melihat ketimpangan yang
terjadi di dunia pendidikan. Sosiolog pendidikan yang baik akan memahami
tingkat perkembangan masyarakat disekitarnya, lalu menjadikan sebagai dasar
menata, merancang, merumuskan progam maupun kebijakan pendidikan yang relevan
bagi masyarakat. Sosiolog pendidikan yang baik akan memberi sumbangan bagi
praktisi pendidikan dan siapa saja yang tertarik dalam upayamengantar para
siswa untuk sampai kepada tujuan membangun manusia yang lebih bermartabat.
B.
PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Dalam pembagian perspektif sosiologi pendidikan akan
diperlihatkan perbedaan sosiologi pendidikan yang berorientasi pada dimensi
kajian makro dan dimensi kajian mikro. Di bagian ini pula dipaparkan unit
pilihan analisis dari masing-masing perspektif. Sebagian sosiolog pendidikan
mengikuti tradisi sosiologi yang cenderung memilih unit analisis yang berasal
dari ranah objektif, yaitu dunia atau realitas yang berda di luar individu.
Sedangkan sebagian lainnya memilih unit analisas yang berasal dari ranah
individu (perspektif subjektif).
Perpektif kajian sosiologi pendidikan dipisahkan
antara mereka yang memiih penekan pada ranah objektif dengan mereka yang
memilih ranah subjektif. Mereka yang memilih pendekatan pada ranah objektif,
melihat data atau realitas dengan pandangan bebas nilai. Penjelasan dilakukan
dengan melihat data di luar individu atau mencari penjelasan di dunia objektif.
Oleh karena itu pendekatan objektif lebih dekat dengan kajian makro.
Sejumlah teori sosial yang berada dalam ranah kajian
makro seperti teori struktural fungsional, struktural konflik, marxian, dan
teori depedensi, cenderung melihat bagaimana pendidikan diorganisassikan dan
sistem pendidikan dikembangkan. Kemajuan dan kemunduran, keberhassilan dan
kegagalan dicari penjelasannya dari balik sistem struktur sekolah maupunn
sistem struktur masyarakat.
Sementara itu, kajian mikro cenderung menggunakan
perspektif fenomenologis, dengan penekanan pada upaya memahami apa yang terjadi
di balik fenomena, data, informasi, atau realitaas kehidupan individu.
Sosiologi pendidikan yang memilih fokus kajian pada ranah subjektif, mereka
mencoba memahami realitas pendidikan tidak dari luar realitas individu. Mereka
memahami realitas pendidikan dari ranah subjektif, pada tataran individu, dari
tataran konstruk, persepsi, penaksiran, dan pemaknaan individu terhadap dunia
kependidikan.
Kajian sosiologi pendidikan perspektif mikro,
mencari masalah pendidikan ke dunia makna. Kemajuan dan kemunduran,
keberhasilan dan kegagalan dalam pendidikan, oleh teori-teori yang menekankan
pada ranah mikro seperti perspektif konstruksionis, interaksionisme simbolik,
fenomenologis, dramaturgi, etnometodologi dan sejumlah pemikir yang mengikuti
mahzab frankfurt, feminisme, dan juga posmodernisme menelusuri realitas melalui
ranah mikro, bukan dari wilayah makrosistemik atau struktur sosial.
C. PARADIGMA
BARU PENDIDIKAN
1. Pengertian
Paradigma dan Perkembangan dalam Pendidikan
Istilah paradigma populer karena pemikiran dari
thomas khun (1970) dalam bukunya the structure of scientific revolution.
Paradigma adalah cara seseorang memandang kenyataan
dalam kehidupan, Ritzer memberikan pengertian paradigma sebagai cara bertanya,
cara menjawab, menentukan masalah dan memecahkanya. Didalam paradigma
mengandung berbagai nilai dan asumsi yang dijadikan dasar seseorang mengajukan
pertanyaan dan menjawabnya.
Dalam
ilmu sosial, menurut Ritzer ada tiga paradigma, yaitu :
Pertama, paradigma fakta sosial. Paradigma ini
berakar pada pemikiran Emile Durkheim (prespektif durkheim). Paradigma ini
mendasarkan pada filsafat positivisme Aguste Comte yang menyatakan segala
sesuatu serba terukur dan berkembang
mengikuti hukum sebab akibat.
Dalam paradigma ini, tindakan seseorang diasumsikan
merupakan fungsi dari sistem nilai atau struktur dalam masyarakat. Mereka lalu
mempertanyakan fungsi elemen – elemen dalam sistem tersebut. Elemen tersebut
harus memiliki fungsi dan memberikan
sumbangan bagi upaya membangun harmoni.
Kedua, paradigma definisi sosial. Paradigma ini
berakar pada gagasan Max Webber yang berangkat dari asumsi dasar yang
mengatakan bahwa tindakan seseorang bukan karena faktor dari luar, melainkan
dari dorogan diri sendiri. Tardisi atau budaya yang berkembang dilingkungan
bukan pendorong seseorang melakukan tidakan namun tindakan seseorang merupakan
hasil dari keinginan, motivasi, nilai – nilai serta penafsiran manusia sebagai
individu terhadap dunia yang dimana ia hidup.
Ketiga, paradigma pertukaran sosial. Paradigma ini
muncul dari gagasan skinner.menurut penganut paradigma perilaku sosial, manusia
bertindak berdasarkan stimulus dari luar. Ini tidak sama seperti paradigma
fakta sosial yang memandang faktor struktural atau sistem yang mengacu pada
tindakan seseorang, maka menurut paradigma perilaku sosial yang dipersoalkan
adalah stimulus. Mereka berasumsi bahwa stimulus yang bagus akan menghasilkan
respon yang bagus begitupun sebaliknya.
Paradigma sosial menurut Ritzer juga berkembang
dalam pemikiran tentang pengembangan model pendidikan.paradigma perilaku sosial
yang mendasarkan pada perspektif pertukaran dalam pendidikan melahirkan model
behavioristik. Untuk paradigma perilaku sosial melahirkan model
konstruktivistik.
2. Paragdigma
Behavioristik
Paradigma behavioristik sering disebut
dengan paradigm klasik yang muncul pada tahun 1930-an. Paradigma ini di
pelopori oleh Pavlov (1849-1036), Wason (1878-1958), Skinner dan Thorndike
(1874-1949). Paradigma behavioristik atau perilaku social ini dapat dilihat
dalam berbagai bentuk pengenbangan manajemen pendidikan yang mendasarkan pada
pemikiran positivisme, empirisme, teknokrasi dan manajerialisme.
Paradigma ini menganut perspektif
gestalt yang memfokuskan pada cara kerja pemikiran kognitif, namun Pavlov
menggangap perspektif tersebut memiliki kekurangan karena tidak memfokuskan
langsung pada gerakan tubuh dan gejala internal tubuh yang bias diamati, Pavlov
(1849-1036) menunjukan hubungan yang simple antara stimulus dan respon dalam
pengajaran (conditioning) untuk membentuk perilaku organisme.
Watson (1878,1931) yang
memperkenalkan istilah behaviorisme mengembangkan gagasanya berdasarkan apa
yang dirintis Pavlov. Ia mengembangkan Pembelajaran adalah proses pembentukan
kondisi yang diwujudkan dalam bentuk subtitusi satu stimulus terhadap yang
lain.Ia juga mengasumsikan cara berpikir manusia bersifat mekanis buukan proses
kerja mental.
Thorndike (1913, 1931) memberikan
sumbangan paradigma behavioristik dengan mengeksplorasi dampak perilaku
terhadap perilaku tertentu lainya yang disebut Low of Effect. Low of Effect ini
mengatakan bahwa respon kuat akan diberikan apabila situasi dibuat menyenangkan
, tetapi respon lemah jika situasi tidak menyenagkan. Menurut teori ini
lingkunangan pembelajaran merupakan factor yang amat menentukan.
Paradigma behavioristik ini menilai
bahwa keseluruhan kenyataan tidak bisa dibairkan dalam keadaan rumit dan
kompleks. Sehingga dalam proses pembelajaran harus ada penyederhanaan. Paradigm
ini tidak menempatkan segala sesuatu pikiran, intelegensia, ego dan berbagai
bentuk rasa perorangan yang tak dapat dijelaskan sebgai sesuatu yang
diperhitungkan.
Pemikiran diatas menimbulkan
implikasi berbagai factor pembelajaran yaitu:
2. Implikasin terhadap pengembangan kurikulum
3. Implikasi terhadap peran siswa dalam organisasi pembelajaran
4. Iimplikasi terhadap cara penilaian
Guna menerapkan paradigm behavioristik yang juga
disebut sebagai perspektif Skinnerian guru harus merumuskan tujuan pembelajaran
tertentu dalam kerangka pembelajaran behavoristik kemudian menyusun tahapan
pembelajaran tersebut sehingga dapat sampai pada tujuan. Sementara siswa
ditempatkanan pada situasi yang kondusif untuk mencapai pembentukan perilaku
tertentu. Jadi guru harus bias menciptakan situasi (operant) yang bersifat
fisik untuk menstimulasi pembelajaran siswa. Situasi ini adalah sebuah alat
yang berupa materi dan doronagn yang bersifat eksternal.
Untuk menjalankan paradigma Skinnerian guru
memerlukan sejumlah kompetensi yang harus di kuasai yaitu:
1.
Mengetahui perialku
siswa secara tepat dan mendorong disiplin diri siswa.
2.
Mengunakan pendekatan
yang dapat memecahkan perilaku yang tidak diingginkan.
3. Menggunakan berbagai
bentuk strategi mengelola perilaku seperti peraturan negosiasi, penggunaan
sanksi yang efektif.
4. Mengembangkan
kegiatanrutin yang jelas dalam mengelola peilaku siswa konsisten dengan
peraturan sekolah.
5. Melakukan tindakan yang
tepat, tegas, adil, dan konsisten.
Selain itu guru juga harus memiliki kemampuan
membuat perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.upaya yang
harus dilakukan yaitu:
1.
Menghubungkan program
pembelajaran denagn tujuan dan sasaran pendidikan.
2.
Menyusun tujuan yang
jelas dalam programpembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran siswa
sebagaimana telah yang disepakati sebelumnya.
3.
Pilih dan buat tahapan
aktifitas belajar untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.
4.
Perhatikan tujuan siswa
dan segala capaian yang telah diraih oleh siswa sebelumnya.
5.
Susun strategi
pembelajaran behavioristik dengan berupaya mengembangkan pembelajaran, tahap
demi tahap, serta jamin tersedia.
6.
Hubungkan proses
penilaian atau evaluasi dengan strategi, tujuan,isis, dan tugas pembelajaran.
3.
Paradigma Konstruktivistik
Paradigma
Konstruktivistik berakar pada filsafat humanisme dan fenomenologi, namum dalam
perkembangannya juga terdapat aliran filsafat rasionalisme dan positivisme.
Paradigma konstruktivistik ini mulai dikembangkan karena ada berbagai kelemahan
dan kekurangan dari paradigma behavioristik. Inti paradigma ini adalah mengembangkan
pembelajaran dengan berbasis kepada pemahaman siswa (student’s understanding).
Hal ini berbeda dengan behavioristik yang berbasis kepada pemahaman pendidik
saja. Sehingga untuk konstruktivistik, pendidik bertindak sebagai pendamping
dan memahami kemampun yang ada dalam diri siswa.
Dalam
pendidikan konstruktivistik, pembelajaran dipandang sebagai proses yang
dikendalikan sendiri oleh siswa. Sehingga siswa belajar dengan melakukan
interaksi dengan teman sebaya, keluarga, lingkungan masyarakat, dan media yang
ada. Dibutuhkan kreatifitas dari siswa untuk mengembangkan proses belajarnya
sendiri. Ada dua jenis dalam pendidikan konstruktivitisme, pertama yaitu
konstruktivisme psikologis dan kedua konstruktivisme sosial. Konstruktivisme
psikologis adalah suatu bentuk pendidikan yang fokus kepada siswa sebagai
individu dan bagaimana cara mereka membangun pengetahuannya selama proses
belajar. Kemudian konstruktivisme sosial adalah bentuk pendidikan yang fokus
terhadap peran faktor sosial dan budaya dalam pengembangan belajar.
Mclnerny dan Mclnerny memperinci
paradigma konstruktivistik dengan melihat aspek cara menyampaikan materi,
metodologi, motivasi dan perumusan tujuan, serta evaluasi. Untuk lebih
lengkapnya adalah sebagai berikut:
a. Alat menyampaikan materi
1. Pembelajaran bersifat kepada
siswa dan bukan pendidik saja
2. Pembelajaran adalah proses
munghubungkan materi
3. Menyediakan banyak bahan
pengajaran yang menarik.
b. Aktivitas dan Metodelogi
1.Kegiatan pembelajaran memperhatikan
kebutuhan dan kepribadian siswa
2. Pembelajaran dilakukan secara
terpadu
3. Menekankan proses pembelajaran
daripada dibebani materi
4. Meningkatan kemampuan skill dan
pemikiran siswa.
c. Motivasi dan Tujuan
1. Pembelajaran bertujuan mengembangankan kehidupan personal dan sosial
2. Pendidik memberikan dorongan
kemampuan belajar siswa dengan sendirinya
3. Pembelajaran dilakukan dengan
berbasis evaluasi diri.
d. Evaluasi
1. Evaluasi
dilakukan dengan membuat daftar isian observasi
2. Evaluasi
bisa dilakukan dengan diskusi dengan guru, dan dari hasil pembelajaran
3. Melakukan
interaksi efektif dengan orang yang lebih dewasa.
4. Paradigma Sosial Cognitive
Paradigma
ini muncul dari perpaduan kedua paradigm behavioristic dan konstruktivistik
yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh Bredo (1997) yang
pada dasarnya asumsi dibangun berdasarkan prinsip bahwa individu selalu
berdialog dengan lingkungannya. Individu bukan sekedar actor yang memperoduksi
apa yang dia peroleh dari dunia atau truktur di sekitarnya.
Dalam paradigma social cognitive, pembelajaran
diatur sedemikian rupa sehingga siswa menggunakan system pengetahuan yang
dimilikinya dan digunakan untuk berdialog dengan lingkungannya. Dan di dalam
system ini adalah bahwa pembelajaran adalah aktifitas yang difasilitasi yang didalamnya
terdapat bentuk-bentuk ragam budaya guna mempermudah dalam pembelajaran,
seperti halnya buku, pensil, papan, alat-alat, namun juga bisa berupa alat
simbolik seperti bahasa.
Dengan demikian pembelajaran dalam perspektif ini
tiada lain diartikan sebagai aktifitas sosial dan kolaborasi. Di dalam
aktifitas dan kolaborasi itu siswa mengembangkan pemikirannya bersama-sama.
Pembelajaran dilakukan secara partisipatoris. Apa yang dipelajari bukan hanya
yang dimiliki oleh individu namun sesuatu yang dapat dibagikan dengan orang
lain, dan oleh karena itu paradigma ini juga disebut dengan ‘distributed
cognition’, pemikiran yang terbagikan.
Paradigma
social cognitive dirinci dengan baik oleh Mclnerery dan Mclnerery yang dapat
dilihat dari cara menyampaikan materi, metodelogi, motivasi dan perumusan
tujuan dan cara evaluasi sbb.:
a.
Menyampaikan materi
1) Melakukan
display model, misalkan guru melakukan
demonstrasi, audiovisual, mengundang tamu, dan materi harus relevan dan dapat
menarik perhatian siswa.
2) Berfokus
pada siswa, yaitu materi disampaikan dengan cara yang dapat menarik mnat siswa
secara langsung.
b.
Aktivitas/Metodologi
1) Terinci
atau bertahap mengikuti model
2) Penjelasan
dan pemberian informasi verbal
3) Bahan
disusun secara teratur dan menarik siswa
4) Memberikan
siswa untuk memahami dan menyajikan kembali materi pelajaran
c.
Motivasi dan Tujuan
1) Membuat
instrument reinforcement
2)
Menekankan dorongan
intrinsic maupun reinforcement
3) Menguasai
perilaku yang ditentukan dan menstranformasikanya dalam situasi baru.
d. Evaluasi
1) Melakukan
evaluasi formative secara terus menerus melakukan koreksi dan memberi respon
terhadap umpan balik secara langsung.
2) Memperoduksi
pendorong kepuasan yang diperlukan untuk membentuk perilaku.
3) Menggunakan
skill yang diperlukan dalamsiatuasi yangsama maupun yang baru melalui
transformasi.
4) Kawan
sebaya dan interaksi efektif dengan orang yang lebih dewasa.
Praktik di kelas selanjutnya menyusun strategi
pembelajaran yang menurut Krause (2006: 184-187) ada tiga strategi:
a.
Mendorong pembelajaran
terpusat pada pengalaman dan kegiatan siswa
b.
Memberikan kesempatan
siswa belajar bekerjasama
c.
Bantu siswa baru
mengembangkan keahliannya.
Kesimpulan
Paradigm Social Cognitive
Dengan demikian paradigm Social Cognitive tanpat
lebih comprehensive dan lebih memadai jika diterapkan untuk megembangkan dan
meningkatkan performance pembelajaran di Madrasah. Persoalanya sering kali
bukan soal kemampuan, tetapi soal kecenderungan dan pilhan. Jika pilihan kita
benar dalam meetapkan paradigm pendidikan, maka kita akan bisa menentukan
strategi pembelajaran yang bisa menjamin melahirkan outcome yang berguna dan
bermanfaat untuk memecahkan persoalan yang kita hadapi, kini maupun masa yang
akan dating.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sosiologi merupakan pendekatan studi tentang
pendidikan, menghantarkan untuk memahami kaitannya sosiologi dengan pendidikan.
Sosiologi pendidikan memiliki perspektif yang beragam, sejalan dengan keragaman
yang terjadi dalam perspektif kajian sosiologi pada umumnya. Juga memahami
pembagian perspektif sosiologi pendidikan yang berorientasi makro dan mikro
dengan sejumlah teori yang berpayung di dalam perspekrifnya. Sosiologi
pendidikan dapat membantu memahami perencanaan, proses implementasi dan
implikasi penerapan progam maupun kebijakan tertentu.
Dalam pembagian perspektif sosiologi pendidikan akan
diperlihatkan perbedaan sosiologi pendidikan yang berorientasi pada dimensi
kajian makro dan dimensi kajian mikro. Di bagian ini pula dipaparkan unit
pilihan analisis dari masing-masing perspektif. Sebagian sosiolog pendidikan
mengikuti tradisi sosiologi yang cenderung memilih unit analisis yang berasal
dari ranah objektif, yaitu dunia atau realitas yang berda di luar individu.
Sedangkan sebagian lainnya memilih unit analisas yang berasal dari ranah
individu (perspektif subjektif).
DAFTAR RUJUKAN
Maliki, Zainuddin. Sosiologi
Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.
0 komentar:
Posting Komentar