lagu

Popular Posts

PERKEMBANGAN PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Minggu, April 20, 2014 |



PERKEMBANGAN PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN

 
BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Sosiologi merupakan bidang kajian yang memiliki implikasi penting terhadap tumbuh berkembangnya manusia dalam dunia pendidikan. Sosiologi memberi sumbangan yang berarti bagi mereka yang tertarik dalam upayamelakukan kajian kritis terhadap apa yang terjadi di masyarakat. Jika kita bisa memahami apa yang ada di lingkungan sekitar, maka besar peluang kita untuk dapt mengendalikan perubahan masyarakat.
Sosiologi merupakan pendekatan studi tentang pendidikan, menghantarkan untuk memahami kaitannya sosiologi dengan pendidikan. Sosiologi pendidikan memiliki perspektif yang beragam, sejalan dengan keragaman yang terjadi dalam perspektif kajian sosiologi pada umumnya. Juga memahami pembagian perspektif sosiologi pendidikan yang berorientasi makro dan mikro dengan sejumlah teori yang berpayung di dalam perspekrifnya. Sosiologi pendidikan dapat membantu memahami perencanaan, proses implementasi dan implikasi penerapan progam maupun kebijakan tertentu.
2.    Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan Sosiologi sebagai Pendekatan Studi Pendidikan?
2.    Bagaimana Perspektif Kajian Sosiologi Pendidikan?
3.    Bagaimana Penjelasan Paradigma Baru pendidikan?




 BAB II
PEMBAHASAN
A.  SOSIOLOGI SEBAGAI PENDEKATAN STUDI PENDIDIKAN
Sosiologi pendidikan baru menjadi fokus perhatian sosiolog Inggris sejak awal 1970 dan memiliki pendukung di AS dan di tempat-tempat lain. Sosiologi pendidikan merupakan kajian bagaimana Institusi dan kekuatan sosial mempengaruhi proses dan outcome pendidikan dan begitu pula sebaliknya. Pendidikan, seperti dikatakan sargent (1994) merupakan instrumen untuk mengatasi kesenjangan, mencapai derajat kesetaraan yang tinggi dan mencapai tingkat kesejahteraan yang baik bagi siapa saja. Pembelajaran memiliki semangat dan motivasi mengejar aspirassi menuju kemajuan dan usaha menjadi manusia yang terbaik. Pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Schofield (1999) memposisikan diir sebagai tempat bagi mereka untuk mengembangkan diri berdasarkan keunikan potensi dan kepentingannya masing-masing.
            Sosiologi pendidikan memerlukan alternatif jika ingin memahami sistem pendidikan. Dalam hal ini perlu pemahaman dasar tentang realitas, bagaimana kita memandang peristiwa dan situassi di sekitar kita serta cara kita memberikan respon. Dalam masyarakat seperti ini, ilmu pengetahuan menjadi instrumen penting dalam perkembangan masyarakat. Masyarakat berbasis ilmu pengetahuan memiliki tradisi yang berbeda dengan massyarakat sebelumnya. Cara mengembangkan tindakan, memilih identitas, mengajukan persoalan dan jawaban, selalu dikaitkan dengan tradisi keilmuan. Pilihan tindakan masyarakat berbassis pengetahuan, menurut sejumlah ahli bahkan telah disertai dengan kecenderungan menuju tradisi baru.
            Menghadapi perkembangan seperti itu, maka pendidikan sebagai insitusi produksi dan reproduksi pengetahuan menjadi semakin membutuhkan perangkat analisis dalam memahami perilaku masyarakat. Ada beberapa alasan yang mendasari pengembangan pendidikan yang harus dilandasi dengan konsep dan teori-teori sosial.
Pertama, pendidikan mau tiak mau harus bisa menyiapkan sebuah generasi yang siap memasuki masyarakat yang berubah menuju masyarakat yang berbasis pengetahuan. Jika pendidikan tidak menghasilkan manusia yang siap memasuki masyarakat dengan segala bentuk tuntutan dan karakternya, maka pendidikan akan dianggap gagal memberikan bekal dan prasyart memasuki perubahan dan masa depan.
Kedua, praktisi pendidikan dapat merumuskan cara menetapkan orientasi yang relevan dengan dunia yang berubah di satu pihak, namun di lain pihak dunia pendidikan tidak mengalami distorsi dan disorientasi. Pendidikan bagaimanapun merupakan tempat yang bertanggung jawab dalam menumbuhkan tata nilai kemanusiaan, tata masyarakat yang disemangati oleh prinsip keadilan dan kesejahteraan bersama.
Ketiga, pendidikan harus dikaitkan dengan perkembangan dan dinamika lingkungan masyarakat. Pendidikan harus mampu membawa siswanya memahami bahwa dunia yang mereka hadapi sekarang berubah cepat. Jadi pendidikan tidak diselenggarakan di lingkungan yang kosong. Pendidikan diselenggarakan ditengah masyarakat yang mengalami perubahan. Dunia pendidikan perlu merumuskan peranan cara tersendiri dalam mengantisipasi munculnya berbagai isu perubahanmasyarakat tersebut. Oleh karna itu akan sangat terbantu jika pendidikan dapat memanfaatkan ilmu-ilmu sosial.
Sosiolog pendidikan yang baik, memiliki kepekaan dan kesadaran moral yang tinggi sehingga mereka mampu melihat ketimpangan yang terjadi di dunia pendidikan. Sosiolog pendidikan yang baik akan memahami tingkat perkembangan masyarakat disekitarnya, lalu menjadikan sebagai dasar menata, merancang, merumuskan progam maupun kebijakan pendidikan yang relevan bagi masyarakat. Sosiolog pendidikan yang baik akan memberi sumbangan bagi praktisi pendidikan dan siapa saja yang tertarik dalam upayamengantar para siswa untuk sampai kepada tujuan membangun manusia yang lebih bermartabat.


B.  PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Dalam pembagian perspektif sosiologi pendidikan akan diperlihatkan perbedaan sosiologi pendidikan yang berorientasi pada dimensi kajian makro dan dimensi kajian mikro. Di bagian ini pula dipaparkan unit pilihan analisis dari masing-masing perspektif. Sebagian sosiolog pendidikan mengikuti tradisi sosiologi yang cenderung memilih unit analisis yang berasal dari ranah objektif, yaitu dunia atau realitas yang berda di luar individu. Sedangkan sebagian lainnya memilih unit analisas yang berasal dari ranah individu (perspektif subjektif).
Perpektif kajian sosiologi pendidikan dipisahkan antara mereka yang memiih penekan pada ranah objektif dengan mereka yang memilih ranah subjektif. Mereka yang memilih pendekatan pada ranah objektif, melihat data atau realitas dengan pandangan bebas nilai. Penjelasan dilakukan dengan melihat data di luar individu atau mencari penjelasan di dunia objektif. Oleh karena itu pendekatan objektif lebih dekat dengan kajian makro.
Sejumlah teori sosial yang berada dalam ranah kajian makro seperti teori struktural fungsional, struktural konflik, marxian, dan teori depedensi, cenderung melihat bagaimana pendidikan diorganisassikan dan sistem pendidikan dikembangkan. Kemajuan dan kemunduran, keberhassilan dan kegagalan dicari penjelasannya dari balik sistem struktur sekolah maupunn sistem struktur masyarakat.
Sementara itu, kajian mikro cenderung menggunakan perspektif fenomenologis, dengan penekanan pada upaya memahami apa yang terjadi di balik fenomena, data, informasi, atau realitaas kehidupan individu. Sosiologi pendidikan yang memilih fokus kajian pada ranah subjektif, mereka mencoba memahami realitas pendidikan tidak dari luar realitas individu. Mereka memahami realitas pendidikan dari ranah subjektif, pada tataran individu, dari tataran konstruk, persepsi, penaksiran, dan pemaknaan individu terhadap dunia kependidikan.
Kajian sosiologi pendidikan perspektif mikro, mencari masalah pendidikan ke dunia makna. Kemajuan dan kemunduran, keberhasilan dan kegagalan dalam pendidikan, oleh teori-teori yang menekankan pada ranah mikro seperti perspektif konstruksionis, interaksionisme simbolik, fenomenologis, dramaturgi, etnometodologi dan sejumlah pemikir yang mengikuti mahzab frankfurt, feminisme, dan juga posmodernisme menelusuri realitas melalui ranah mikro, bukan dari wilayah makrosistemik atau struktur sosial.

C. PARADIGMA BARU PENDIDIKAN
1. Pengertian Paradigma dan Perkembangan dalam Pendidikan
Istilah paradigma populer karena pemikiran dari thomas khun (1970) dalam bukunya the structure of scientific revolution.
Paradigma adalah cara seseorang memandang kenyataan dalam kehidupan, Ritzer memberikan pengertian paradigma sebagai cara bertanya, cara menjawab, menentukan masalah dan memecahkanya. Didalam paradigma mengandung berbagai nilai dan asumsi yang dijadikan dasar seseorang mengajukan pertanyaan dan menjawabnya.
Dalam ilmu sosial, menurut Ritzer ada tiga paradigma, yaitu :
Pertama, paradigma fakta sosial. Paradigma ini berakar pada pemikiran Emile Durkheim (prespektif durkheim). Paradigma ini mendasarkan pada filsafat positivisme Aguste Comte yang menyatakan segala sesuatu  serba terukur dan berkembang mengikuti hukum sebab akibat.
Dalam paradigma ini, tindakan seseorang diasumsikan merupakan fungsi dari sistem nilai atau struktur dalam masyarakat. Mereka lalu mempertanyakan fungsi elemen – elemen dalam sistem tersebut. Elemen tersebut harus  memiliki fungsi dan memberikan sumbangan bagi upaya membangun harmoni.
Kedua, paradigma definisi sosial. Paradigma ini berakar pada gagasan Max Webber yang berangkat dari asumsi dasar yang mengatakan bahwa tindakan seseorang bukan karena faktor dari luar, melainkan dari dorogan diri sendiri. Tardisi atau budaya yang berkembang dilingkungan bukan pendorong seseorang melakukan tidakan namun tindakan seseorang merupakan hasil dari keinginan, motivasi, nilai – nilai serta penafsiran manusia sebagai individu terhadap dunia yang dimana ia hidup.
Ketiga, paradigma pertukaran sosial. Paradigma ini muncul dari gagasan skinner.menurut penganut paradigma perilaku sosial, manusia bertindak berdasarkan stimulus dari luar. Ini tidak sama seperti paradigma fakta sosial yang memandang faktor struktural atau sistem yang mengacu pada tindakan seseorang, maka menurut paradigma perilaku sosial yang dipersoalkan adalah stimulus. Mereka berasumsi bahwa stimulus yang bagus akan menghasilkan respon yang bagus begitupun sebaliknya.
Paradigma sosial menurut Ritzer juga berkembang dalam pemikiran tentang pengembangan model pendidikan.paradigma perilaku sosial yang mendasarkan pada perspektif pertukaran dalam pendidikan melahirkan model behavioristik. Untuk paradigma perilaku sosial melahirkan model konstruktivistik.

2. Paragdigma Behavioristik
            Paradigma behavioristik sering disebut dengan paradigm klasik yang muncul pada tahun 1930-an. Paradigma ini di pelopori oleh Pavlov (1849-1036), Wason (1878-1958), Skinner dan Thorndike (1874-1949). Paradigma behavioristik atau perilaku social ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk pengenbangan manajemen pendidikan yang mendasarkan pada pemikiran positivisme, empirisme, teknokrasi dan manajerialisme.
            Paradigma ini menganut perspektif gestalt yang memfokuskan pada cara kerja pemikiran kognitif, namun Pavlov menggangap perspektif tersebut memiliki kekurangan karena tidak memfokuskan langsung pada gerakan tubuh dan gejala internal tubuh yang bias diamati, Pavlov (1849-1036) menunjukan hubungan yang simple antara stimulus dan respon dalam pengajaran (conditioning) untuk membentuk perilaku organisme.
            Watson (1878,1931) yang memperkenalkan istilah behaviorisme mengembangkan gagasanya berdasarkan apa yang dirintis Pavlov. Ia mengembangkan Pembelajaran adalah proses pembentukan kondisi yang diwujudkan dalam bentuk subtitusi satu stimulus terhadap yang lain.Ia juga mengasumsikan cara berpikir manusia bersifat mekanis buukan proses kerja mental.
        Thorndike (1913, 1931) memberikan sumbangan paradigma behavioristik dengan mengeksplorasi dampak perilaku terhadap perilaku tertentu lainya yang disebut Low of Effect. Low of Effect ini mengatakan bahwa respon kuat akan diberikan apabila situasi dibuat menyenangkan , tetapi respon lemah jika situasi tidak menyenagkan. Menurut teori ini lingkunangan pembelajaran merupakan factor yang amat menentukan.
     Paradigma behavioristik ini menilai bahwa keseluruhan kenyataan tidak bisa dibairkan dalam keadaan rumit dan kompleks. Sehingga dalam proses pembelajaran harus ada penyederhanaan. Paradigm ini tidak menempatkan segala sesuatu pikiran, intelegensia, ego dan berbagai bentuk rasa perorangan yang tak dapat dijelaskan sebgai sesuatu yang diperhitungkan.
       Pemikiran diatas menimbulkan implikasi berbagai factor pembelajaran yaitu:
1.                  Implikasi terhadap peran guru dalam pembelajaran.
2.                  Implikasin terhadap pengembangan kurikulum
3.                  Implikasi terhadap peran siswa dalam organisasi pembelajaran
4.                  Iimplikasi terhadap cara penilaian
      Guna menerapkan paradigm behavioristik yang juga disebut sebagai perspektif Skinnerian guru harus merumuskan tujuan pembelajaran tertentu dalam kerangka pembelajaran behavoristik kemudian menyusun tahapan pembelajaran tersebut sehingga dapat sampai pada tujuan. Sementara siswa ditempatkanan pada situasi yang kondusif untuk mencapai pembentukan perilaku tertentu. Jadi guru harus bias menciptakan situasi (operant) yang bersifat fisik untuk menstimulasi pembelajaran siswa. Situasi ini adalah sebuah alat yang berupa materi dan doronagn yang bersifat eksternal.
Untuk menjalankan paradigma Skinnerian guru memerlukan sejumlah kompetensi yang harus di kuasai yaitu:
1.             Mengetahui perialku siswa secara tepat dan mendorong disiplin diri siswa.
2.             Mengunakan pendekatan yang dapat memecahkan perilaku yang tidak diingginkan.
3.   Menggunakan berbagai bentuk strategi mengelola perilaku seperti peraturan negosiasi, penggunaan sanksi yang efektif.
4.     Mengembangkan kegiatanrutin yang jelas dalam mengelola peilaku siswa konsisten dengan peraturan sekolah.
5.           Melakukan tindakan yang tepat, tegas, adil, dan konsisten.
Selain itu guru juga harus memiliki kemampuan membuat perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.upaya yang harus dilakukan yaitu:
1.             Menghubungkan program pembelajaran denagn tujuan dan sasaran pendidikan.
2.    Menyusun tujuan yang jelas dalam programpembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran siswa sebagaimana telah yang disepakati sebelumnya.
3.             Pilih dan buat tahapan aktifitas belajar untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.
4.             Perhatikan tujuan siswa dan segala capaian yang telah diraih oleh siswa sebelumnya.
5.       Susun strategi pembelajaran behavioristik dengan berupaya mengembangkan pembelajaran, tahap demi tahap, serta jamin tersedia.
6.             Hubungkan proses penilaian atau evaluasi dengan strategi, tujuan,isis, dan tugas pembelajaran.

3. Paradigma Konstruktivistik
            Paradigma Konstruktivistik berakar pada filsafat humanisme dan fenomenologi, namum dalam perkembangannya juga terdapat aliran filsafat rasionalisme dan positivisme. Paradigma konstruktivistik ini mulai dikembangkan karena ada berbagai kelemahan dan kekurangan dari paradigma behavioristik. Inti paradigma ini adalah mengembangkan pembelajaran dengan berbasis kepada pemahaman siswa (student’s understanding). Hal ini berbeda dengan behavioristik yang berbasis kepada pemahaman pendidik saja. Sehingga untuk konstruktivistik, pendidik bertindak sebagai pendamping dan memahami kemampun yang ada dalam diri siswa.
            Dalam pendidikan konstruktivistik, pembelajaran dipandang sebagai proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa. Sehingga siswa belajar dengan melakukan interaksi dengan teman sebaya, keluarga, lingkungan masyarakat, dan media yang ada. Dibutuhkan kreatifitas dari siswa untuk mengembangkan proses belajarnya sendiri. Ada dua jenis dalam pendidikan konstruktivitisme, pertama yaitu konstruktivisme psikologis dan kedua konstruktivisme sosial. Konstruktivisme psikologis adalah suatu bentuk pendidikan yang fokus kepada siswa sebagai individu dan bagaimana cara mereka membangun pengetahuannya selama proses belajar. Kemudian konstruktivisme sosial adalah bentuk pendidikan yang fokus terhadap peran faktor sosial dan budaya dalam pengembangan belajar.
Mclnerny dan Mclnerny memperinci paradigma konstruktivistik dengan melihat aspek cara menyampaikan materi, metodologi, motivasi dan perumusan tujuan, serta evaluasi. Untuk lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:
a. Alat menyampaikan materi
1. Pembelajaran bersifat kepada siswa dan bukan pendidik saja
2. Pembelajaran adalah proses munghubungkan materi
3. Menyediakan banyak bahan pengajaran yang menarik.
b. Aktivitas dan Metodelogi
1.Kegiatan pembelajaran memperhatikan kebutuhan dan kepribadian siswa
2. Pembelajaran dilakukan secara terpadu
3. Menekankan proses pembelajaran daripada dibebani materi
4. Meningkatan kemampuan skill dan pemikiran siswa.
c. Motivasi dan Tujuan
1. Pembelajaran bertujuan  mengembangankan kehidupan personal dan sosial
2. Pendidik memberikan dorongan kemampuan belajar siswa dengan sendirinya
3. Pembelajaran dilakukan dengan berbasis evaluasi diri.
d. Evaluasi
1.    Evaluasi dilakukan dengan membuat daftar isian observasi
2.    Evaluasi bisa dilakukan dengan diskusi dengan guru, dan dari hasil pembelajaran
3.    Melakukan interaksi efektif dengan orang yang lebih dewasa.

4. Paradigma Sosial Cognitive
Paradigma ini muncul dari perpaduan kedua paradigm behavioristic dan konstruktivistik yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh Bredo (1997) yang pada dasarnya asumsi dibangun berdasarkan prinsip bahwa individu selalu berdialog dengan lingkungannya. Individu bukan sekedar actor yang memperoduksi apa yang dia peroleh dari dunia atau truktur di sekitarnya.
Dalam paradigma social cognitive, pembelajaran diatur sedemikian rupa sehingga siswa menggunakan system pengetahuan yang dimilikinya dan digunakan untuk berdialog dengan lingkungannya. Dan di dalam system ini adalah bahwa pembelajaran adalah aktifitas yang difasilitasi yang didalamnya terdapat bentuk-bentuk ragam budaya guna mempermudah dalam pembelajaran, seperti halnya buku, pensil, papan, alat-alat, namun juga bisa berupa alat simbolik seperti bahasa.
Dengan demikian pembelajaran dalam perspektif ini tiada lain diartikan sebagai aktifitas sosial dan kolaborasi. Di dalam aktifitas dan kolaborasi itu siswa mengembangkan pemikirannya bersama-sama. Pembelajaran dilakukan secara partisipatoris. Apa yang dipelajari bukan hanya yang dimiliki oleh individu namun sesuatu yang dapat dibagikan dengan orang lain, dan oleh karena itu paradigma ini juga disebut dengan ‘distributed cognition’, pemikiran yang terbagikan. 
Paradigma social cognitive dirinci dengan baik oleh Mclnerery dan Mclnerery yang dapat dilihat dari cara menyampaikan materi, metodelogi, motivasi dan perumusan tujuan dan cara evaluasi sbb.:
a.                   Menyampaikan materi
1)   Melakukan display model,  misalkan guru melakukan demonstrasi, audiovisual, mengundang tamu, dan materi harus relevan dan dapat menarik perhatian siswa.
2)   Berfokus pada siswa, yaitu materi disampaikan dengan cara yang dapat menarik mnat siswa secara langsung.
b.                  Aktivitas/Metodologi
1)   Terinci atau bertahap mengikuti model
2)   Penjelasan dan pemberian informasi verbal
3)   Bahan disusun secara teratur dan menarik siswa
4)   Memberikan siswa untuk memahami dan menyajikan kembali materi pelajaran
c.                   Motivasi dan Tujuan
1)   Membuat instrument reinforcement
2)   Menekankan dorongan intrinsic maupun reinforcement
3)   Menguasai perilaku yang ditentukan dan menstranformasikanya dalam situasi baru.
d. Evaluasi
1)   Melakukan evaluasi formative secara terus menerus melakukan koreksi dan memberi respon terhadap umpan balik secara langsung.
2)   Memperoduksi pendorong kepuasan yang diperlukan untuk membentuk perilaku.
3)   Menggunakan skill yang diperlukan dalamsiatuasi yangsama maupun yang baru melalui transformasi.
4)   Kawan sebaya dan interaksi efektif dengan orang yang lebih dewasa.

Praktik di kelas selanjutnya menyusun strategi pembelajaran yang menurut Krause (2006: 184-187) ada tiga strategi:
a.                   Mendorong pembelajaran terpusat pada pengalaman dan kegiatan siswa
b.                  Memberikan kesempatan siswa belajar bekerjasama
c.                   Bantu siswa baru mengembangkan keahliannya.
Kesimpulan Paradigm Social Cognitive
Dengan demikian paradigm Social Cognitive tanpat lebih comprehensive dan lebih memadai jika diterapkan untuk megembangkan dan meningkatkan performance pembelajaran di Madrasah. Persoalanya sering kali bukan soal kemampuan, tetapi soal kecenderungan dan pilhan. Jika pilihan kita benar dalam meetapkan paradigm pendidikan, maka kita akan bisa menentukan strategi pembelajaran yang bisa menjamin melahirkan outcome yang berguna dan bermanfaat untuk memecahkan persoalan yang kita hadapi, kini maupun masa yang akan dating.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sosiologi merupakan pendekatan studi tentang pendidikan, menghantarkan untuk memahami kaitannya sosiologi dengan pendidikan. Sosiologi pendidikan memiliki perspektif yang beragam, sejalan dengan keragaman yang terjadi dalam perspektif kajian sosiologi pada umumnya. Juga memahami pembagian perspektif sosiologi pendidikan yang berorientasi makro dan mikro dengan sejumlah teori yang berpayung di dalam perspekrifnya. Sosiologi pendidikan dapat membantu memahami perencanaan, proses implementasi dan implikasi penerapan progam maupun kebijakan tertentu.
Dalam pembagian perspektif sosiologi pendidikan akan diperlihatkan perbedaan sosiologi pendidikan yang berorientasi pada dimensi kajian makro dan dimensi kajian mikro. Di bagian ini pula dipaparkan unit pilihan analisis dari masing-masing perspektif. Sebagian sosiolog pendidikan mengikuti tradisi sosiologi yang cenderung memilih unit analisis yang berasal dari ranah objektif, yaitu dunia atau realitas yang berda di luar individu. Sedangkan sebagian lainnya memilih unit analisas yang berasal dari ranah individu (perspektif subjektif).








DAFTAR RUJUKAN
Maliki, Zainuddin. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.

0 komentar:

Posting Komentar