lagu

Popular Posts

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS

Minggu, April 20, 2014 |



PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS


A.      AKAR PEMIKIRAN PENDIDIKAN PERSPEKTIFKONSTRUKSIONIS
Pendidikan yang dikembangkan berdasarkan perspektif konstruksionis tidak lepas dari pemikiran sosiologi yang dimulai oleh teoritisi jerman akhir abad 19 dan awal abad 20, terutama dari karya simmel dan webber. Perspektif ini beranggapan bahwa perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku obyek alam. Manusia selalu bertindak sebagai agen dengan mengkonstruk realitas kehidupan sosial. Cara melakukan tergantung cara mereka memahami atau memberikan makna terhadap dunianya. Oleh karena itu, maka tugas sosiologi adalah memahami cara agen melakukan penafsiran, member makna terhadap realitas.
Dengan demikian, mahasiswa yang mempelajari sosiologi pendidikan, harus mempelajari pemikiran sosiolog amerika, seperti simmel dan George herberd mead. Mereka adalah pelopor tradisi konstruksionisme. Mead adalah pelopor teori interaksionisme simbolik , sebuah pendekatan yang memanfaatkan jasa psikologi sosial, dengan mengandaikan bahwa hubungan antara aktor dibangun dalam pola-pola bahasa komunikasi. Komunikasi merupakan medium yang dipakai masyarakat untuk memahami aktor. Aktor memahami realitas melalui simbol-simbol yang mereka gunakan dalam interaksi. Bahasa adalah simbol yang paling banyak dipakai dalam interaksi individu-individu dengan individu lainnya.
Di eropa, tradisi konstruksionisme memunculkan sosiologi fenomenologis. Sosiologi fenomenologi emfokuskan kajiannya kepada cara-cara yang dilakukan aktor dalam memahami dan menafsirkan dunia sosial dengan memperhatikan pencerapan data (sense data) kedalam tipifikasi atau penggambaran secara mental. Cara-cara individu melakukan tipifikasi dengan menghubungkan pemahaman secara intersubyektif, disamping juga menghubungkan antara penggambaran yang dibuat sosiolog dengan penggambaran yang dibuat aktor.
Sementara itu, di amerika muncul tradisi yang disebut perspektif etnometodologi. Tradisi ini beranggapan bahwa tidak mungkin melakukan penggambaran dunia sosial secara ilmiah. Oleh karena itu cara melakukan penggambaran yang paling mmungkin dilakukan sosiolog satu-satunya adalah melakukan penggambaran sesuai dengan apa yang dilakukan oleh sang aktor.
Dalam pertimbangan sosiologi kontemporer, tradisi konstruksionis memicu munculnya teori strukturasi. Teori strukturasi mencoba memperlihatkan bahwa dalam kehidupan sosial terdapat hubungan antara tindakan pemahaman atau penafsiran dengan munculnya sistem sosial yang stabil yang berkembang diluar individu dalam skala yang luas.Setiap tindakan individu tersebut adalah dalam rangka mewujudkan tujuan atau keinginan personal.
Dari perkembangan tradisi konstruksionis tersebut, member inspirasi kepada para pemikir pendidikan. Sosiologi pendidikan yang mendasarkan pada perspektif konstruktivisme dalam hal ini memfokuskan pada “pemahaman siswa” (student’s understanding). Pendidikan harus dimulai dari pemahaman siswa tersebut dan pemahaman siswa harus menjadi focus perhatian guru.
Tugas praktisi pendidikan dengan demikian adalah memahami faktor-faktor instrinsik yang ada dalam diri siswa. Oleh karena itu pendidikan harus dimulai dari self concept siswa. Menciptakan situasi pembelajaran yang menarik dan kondusif bukan semata tugas guru tetapi siswa juga dinilai memiliki potensi untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dalam pendidikan konstruktivistik, pembelajaran dipandang sebagai proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa. Perspektif ini menekankan kepada proses pembelajaran kolaboratif, sehingga proses pembelajarannya dilakukan bersama. Siswa diberi fasilitas untuk berinteraksi dengan lingkungannya disertai dengan proses refleksi diri. Dengan pendekatan seperti ini, pendidikan konstruktivistik menegaskan bahwa sumber belajar bukan hanya bersumber dari guru, melainkan juga dari kawan sepergaulan dan orang-orang disekitarnya.
Paradigma konstruktivisme mengembangkan inisiatif dan kreatifitas pemikiran individu dalam pembelajaran. Dalam pendidikan konstruktivistik, anak-anak atau siswa belajar dengan mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks, mengembangkan skema-skema berfikir, terutama menggunakan informasi dan pengetahuan baru untuk meraih kemajuan. Siswa belajar berinteraksi  dengan lingkungannya.
Dengan demikian, pembelajaran dalam paradigm konstruktivistik menjadikan siswa aktif dan menentukan apa yang harus dipikirkan dan dipelajari. Fokusnya dalam hal ini diarahkan kepada cara bagaimana siswa mengkonstruk makna tentang kehidupan dan dunianya. Dalam pemikiran konstruktivisme, muncul dua aliran, yaitu:
1.    Konstruktivisme psikologis
Pendidikan difokuskan kepada siswa sebagai individu dan bagaimana mereka mengkonstruk pengetahuan, keyakinan dan identitasnya sendiri selama proses pembelajaran. Penganut perspektif ini antara lain adalah piaget, yang melahirkan teori perkembangan kognitif (kemajuan individu melalui serangkaian tahapan).
2.    Konstruktivisme sosial
Pendidikan difokuskan kepada peran faktor sosial dan budaya dalam pengembangan pembelajaran. Perspektif ini meyakini bahwa proses sosial merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses pembelajaran. Ahli pendidikan vigotsky yang selalu dikaitkan dengan teori ini menganjurkan penggunaan secara lebih kreatif strategi pembelajaran kooperatif dan pembelajaran kolaboratif.
B.     TOKOH PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS
Ada beberapa tokoh utama dalam tradisi konstruksionis, mulai dari Weber, Berger, hingga Giddens. Berikut adalah ulasan dari tokoh-tokoh tersebut.
1.      Max Weber
Max weber merupakan ilmuan sosial yang sangat berpengaruh, lahir di erfurt, Jerman, 21 april 1864, ayahnya seorang pejabat dan ibunya seorang cavinist. Pada mulanya ia mengikuti gaya hidup ayahnya, tetapi kemudian tumbuh antipati dan ia memilih dekat dengan gaya hidup ibunya. Weber tercatat sebagai pendiri masyarakat sosioloi jerman pada tahun 1910. Ia mengkaji tindakan individu dalam membangun teori sosiologi. Ia melihat individu yang berpengaruh di masyarakat, tetapi dengan catatan bahwa tindakan sosial individu ini berhubungan dengan rasionalitas, apakah rasionalitas instrumental atau rsionalitas yang berorientasi nilai.
Rasionalitas instrumental akan melibatkan pertimbangan dan pilihan yang sadar dan berhubungan dengan tujuan tindakan dan alat yang digunakan untuk mencapainya. Rasionalitas nilai lebih menekankan bahwa tindakan dikendalikan oleh kesadaran akan keyakinan dan komitmen terhadap tatanan nilai yang luhur. Jadi dengan demikian, alat hanya merupakan pertimbangan dan pengukuran yang sadar, tujuan-tujuannya hanya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai-nilai akhir baginya. Pola rasionalitas demikian tidak hanya berlaku secara individu, tetapi juga meluas ke dalam masyarakat.
a.        Max Weber Tentang Kapitalisme
Weber menuangkan pemikirannya tentang kapitalisme dalam the protestan ethic and the spirit of capitalism (1958). Masyarakat kapitalisme menurut weber, memandang manusia terutama sebagai pekerja. Ia mencirikan kapitalisme seperti :
1.      Adanya usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan serta berkembangnya kepemilikan pribadi;
2.      Berkembangnya produksi untuk pasar;
3.      Produksi untuk massa dan melalui massa;
4.      Produksi untuk uang; dan
5.      Adanya antusiasme, etos dan efisiensi yang maksimal yang menuntut pengabdian manusia kepada panggilan kerja.
Weber melihat ada hal diluar ekonomi yang mempengaruhi terbentuknya kapitalisme, yaitu agama protestan. Agama protestan mengajarkan bahwa bekerja keras merupakan panggilan suci bagi kehidupan manusia. Berlaku hemat dengan cara menggunakan hasil kerjanya tidak untuk bersenang-senang maupun untuk upacara keagamaan. Weber melihat kapitalisme sebagai suatu perubahan tatanan moral yang lama, yang menekankan pada pamrih material dan pendobrakan nilai-nilai karya tradisional.
b.        Max Weber Tentang Stratifikasi Sosial
Weber mengunakan konsep klas dan klas pluralistis dalam menjelaskan stratifikasi sosial. Klas adalah golongan orang dalam kontinum status dan situasi yang sama, yaitu kesempatan untuk memperoleh barang dan untuk dapat menentukan sendiri keadaan kehidupan ekstern dan nasip pribadi. klas pluralistis membicarakan tentang “situasi golongan status”, artinya diberikan hak istimewa positif atau negatif. Status ini diberikan dalam hubungannya dengan martabat sosial. Dituntut secara efektif dalam gaya hidup yang spesifik. Situasi golongan status dapat berdasarkan atas situasi klas dan hal sebaliknyapun juga bisa terjadi, yaitu status menentukan klas.
c.         Max Weber Tentang Klas dan Kekuasaan
Weber menaruh perhatian bagaimana kelompok dan kepentingan kelompok muncul dalam kehidupan sosial. Persaingan dipengaruhi oleh kekuasaan, yang mana kekuasaan tersebut menentukan satu kelompok mendominasi kelompok sosial yang lain. Kekuasaan tersebut meliputi dimensi klas, status, dan partai.
Klas mengacu kepada tatanan ekonomi masyatakat yang dalam hal ini “hubungan pasar” (berkaitan dengan kepemilikan inidividu) merupakan suatu hala yang utama. Status mengacu kepada cara oranisasi  masyarakat memmunculkan perbedaan lantaran prestise atau kehormatan bagi kelompok individu yang berbeda-beda. Kehormatan atau status sosial bersumber dari gaya hidup yang dipakai oleh kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti ritual dan perkawinan. Partai adalah cara kelompok mengorganisir diri dalam mencapai tujuan hidup. Partai bisa dibentuk atas dasar klas maupun kelompok status atau gabungan dari keduanya.
Partai berusaha meraih posisi, kehormatan dan kontrol atas tatanan sosial. Mereka juga mencari keabsahan atau legitimasi di mata kelompok yang dikuasai. Ada tiga sumber legitimasi, yaitu tradisi, kharisma, dan instrumen rasional.
Kontribusi weber terhadap sosiologi pendidikan
Pemikiran weber memberi inspirasi untuk melihat pendidikan tidak dari aspek struktural, institusi ataupun sistem, melainkan dari sudut pemahaman dan pemaknaan individu tentang pendidikan. Dalam hal ini weber tetap memberi perhatian terhadap struktural makro. Teori yang ditawarkan tentang organisasi birokrasi rasional juga menginspirasi bagaimana dunia pendidikan mengorganisir diri. Birokrasi yang dimaksud adalah birokrasi modern yang ditandai dengan kepemimpinan yang didasarkan kepada legitimasi legal rasional.
Pendidikan menurut weber harus mengajarkan “budaya status” tertentu. Hubungan kekuasaan dan konflik kepentingan selalu muncul di masyarakat dan mempengaruhi kondisi di sekolah. Pada umumnya yang terjadi ialah kelompok budaya dominan juga yang membentuk budaya yang berlaku di sekolah.
Weber pernah menulis the rationalization of education and training, yang didalamnya ia menyatakan bahwa pendidikan yang rasional melahirkan tipe “manusia spesialis”, berbeda dengan manusia terlatih yang dilahirkan pendidikan berorientasi vocational. Di masyarakat pra industri pendidikan menjadi faktor penting dalam menyiapkan agen perubahan yang terdidik untuk menduduki posisi penting dalam mendorong pertumbuhan masyarakat. di masyarakat industri, pendidikan memperoleh presure dari kelas menengah yang bekerja keras merebut posisi dalam sistem ekonomi yang terus berubah.
Menurut weber ada dua tipe manusia di sekolah, yaitu insider dan outsider. Insider adalah mereka yang memeiliki status budaya yang diperole dari tata nilai dan berbagai proses pengalaman di sekolah. Outsider adalah mereka yang memiliki banyak kendala untuk bisa menjadi manusia berhasil di sekolah.
2.    DARI EDMUND HUSSERL, ALFRED SCHUTZ, MEAD, COOLEY HINGGA GOFFMAN
Ada pemikiran lain yang mencoba menghubungkan antara indvidu dan struktur ini. Pemikian ini didasari oleh filsafat aliran Fenomologi ini di latarbelakangi oleh pemikiran Edmund Husserl dan Alfred Schutz. Menurut Husserl, pengetahun ilmiah sebenarnya terpisahkan dari pengalaman sehari-hari dari kegiatan-kegiatan di mana pengalaman dan pengetahuan berakar. Fenomologi sebagai suatu bentuk dari idealiasme yang semata-mata tertarik pada cara-cara bekerjanya kesadaran manusia beserta dasar-dasarnya. Dunia yang kita diami menurut perspektif ini diciptakan oleh kesadaran-kesadaran yang ada di kepala kita masing-masing, namun tidak berarti dunia yang eksternal itu tidak ada. Dunia eksternal itu ada, dan hanya dapat dimengerti melalui kesadaran kita tentang dunia itu.
Proses bagaimana manusia membangun dunianya dijelaskan oleh Alfred Schutz melalui proses pemaknaan. Proses pemaknaan itu berawal dari arus pengalaman yang berkesinambungan yang diterima oleh panca indera. Pengidentifikasian dari dunia pengalaman inderawi yang bermakna inilah yang terjadi di dalam kesadaran individu secara terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam interkasi antara kesadaran-kesadaran.
Schutz menganggap cara berfikir Weber sudah benar, akan tetapi ada beberapa aspek yang problematik. Pertama ia mempersoalkan ide Weber yang mempersoalkan ide Weber yang menyatakan bahwa makna tindakan adalah identik dengan motive tindakan. Dalam hal ini semua tindakan memiliki makna, baik tindakan rasional dan irasional.
Dari pemikiran yang tergambar di muka lalu muncul tradisi Interaksionisme Simbolik. Tradisi ini, menurut salah satu pelopornya, Herbert Blumer bertumpu pada tiga premis utama, yaitu (1) manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang ada pada sesuatu bagi mereka. (2) Makna tersebut berasal dan hasil interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan (3) Makna-makna tersebut disempurnakan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Implikasi dari ketiga premis tersebut, maka tindakan manusia bukan disebabakan oleh “kekuatan luar” tetapi juga bukan karena “kekuatan dalam”. Individu dalam hal ini yang benar adalah membentuk objek-objek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuiannya dengan tindaan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut.
Oleh karena itu individu senantiasa berupaya mengantisipasi tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan orang lain. Proses inilah yang dinamakan Blumer sebagai self-indication. Sosiolagi pendidikan mengikuti perspektif ini kemudian menyarankan agar para pendidik memahami siswa sebagia individu yang aktif yang mmiliki kesadaran, selalu merancang tindakannnya dan selalu melakukan refleksi.
Dapat dipahami dari pemikiran Mead dan Cooley bahwa individu memiliki berbagai pengalaman budaya. Mereka menggunakan berbagai pengalaman, pengharapan, sentimen, dan rasionalitas yang dimilikinya itu guna menafsirkan dan mendefinisikan berbagai situasi sosial. Mereka melakukan penafsiran dengan cara yang sama ketika ada kesamaan pengalaman sosialisasi dan ekspektasi. Namun di lain pihak terjadi perbedaaan karena pengalaman, status sosial dan klas sosial individu satu sama lain tidak sama. Atas dari dasar asumsi itu  maka sosiologi (pendidiakan) harus memberi perhatian kepada interaksi sosial, baik di masyarakat, di pendidikan sekolah maupun dalam situasi-situasi lainnya.
Goffman memandang perilaku manusia bagai seni teater, yang tidak bisa diukur secara kuantitatif, menggunakan alat-alat statistik. Semua manusia memainkan peran, baik peran diatas panggung maupun di balik panggung. Ketika di atas panggung manusisa cenderung memanipulasi penampilannya agar membuahkan reaksi positif dari orang lain, ketika di balik panggung ia bertndak sebagai dirinya sendiri. Dengan demikian sosiologi pendidikan bertugas membantu mamahami bagaimana individu bertindak dalam relasinya dengan pihak-pihak lain di sekolah.
  1. PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMAN
Berger dan Luckman menjelaskan bahwa makna-makna umum yang dimiliki bersama dan diterima tetap dilihat sebagai dasar dari organisasasi sosial, namun makna yang berkembang di luar makna-makna umum merupakan hasil manusia yang muncul dari lingkungan sosial yang diciptakannya. Berger mengingatkan agar pendapat, ide dan persesi personal tidak ikut mewarnai ketika mencoba memahami realitas yang ada dihadapannya.
Pemikiran itu dikemukakannya karena selama ini ia menganggap banyak orang telah terjebak menjadi korban dari masyarakatnya. Mereka dilahirkan di sebah masyarakat, dan kemudian terpenjara dan dikendalikan oleh masyrakat itu.
Jadi kita ini adalah individu yang dipenjara oleh epoch sejarah di mana kita dilahirkan, kita adalah anak dari budaya masyrakat kita. Kita tumbuh berkembang, berbahasa, berperilaku, menggagas, memperoleh pengetahuan, pemahaman serta persepsi yang kita peroleh dari budaya sekitar kita. Namun sebagai individu, kita tidak hanya tinggal diam, dan hanya memberikan konformasi, tetapi juga mengelola.
4.      ANTHONY GIDDENS
5.      PIERE BOURDIEU
C.    PENDIDIKAN DALAM PRESPEKTIF KONSTRUKSIONISME
1.      Dimulai dari Makna dan Self-Concept
Kehidupan sehari-hari yang ada di sekolah ataupun masyarakat, merupaka konstruk individu yang berada didalamnya. Konstruk atau cara individu mempersepsikan, memaknai dan mendefinisikan kehidupan sehari-hari itulah yang akan membentuk format kehidupan nyata. Dalam kacamata sosiologi, pendidikan yang menganut perspektif konstruksionis, proses pendidikan hanya dapat dipahami dengan cara menulusuri dunia subjektif, dunia makna dan self concept individu yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Contoh dalam memahami sitem evaluasi pendidikan yang mengutamakan tes kognitif seperti ujian nasional. Ada individu yang mengartikan bahwa tes kognitif sangat penting, karena merupakan cara praktis dan efisien untuk mengukur tingkat kecerdasan siswa dalam jumlah yang banyak. Namun ada juga yang menilai bahwa system tes seperti itu tidak dapat mengukur seluruh kecerdasan siswa dan hanya mengukur kecerdasan kognitif saja. Perbedaan konstruk, self concept dan pemaknaan terhadap penyelenggaraan tes tersebut bisa ditelusuri dari latar belakang individu.
Dalam kehidupan masyarakat, kemampuan individu mengkonstruk, mengkonsepsikan dan memaknai penting perananya dalam mempengaruhi pendidikan. Cara memaknai dunia di sekitarnya yaitu dilakukan sejalan dengan interaksi yang dilakukan dengan actor pendidikan yang lain. Misalnya, siswa mempersepsikan gurunya hari itu akan menyampaikan pelajaran di kelas dengansantai seperti biasa yang dilakukan. Namun dalam kenyataan pada hari itu, guru mengajar dengan sangat serius. Dengan demikian respon siswa tidak seperti biasanya yang santai, tetapi juga berubah menjadi lebih serius.
Sosiologi pendidikan menganut perspektif konstruksionis, tidak seperti penganut structural fungsional yang menekankan peran sosial. Dalam dunia pendidikan masing-masing jabatan bahkan masing-masing individu memiliki peran dan fungsinya. Meskipun statusnya sama-sama guru misalnya, setiap guru memiliki caranya sendiri dalam mengkonsepsikan, mengkonstruk peranya di sekolah, didepan kelas, atau ketika diluar tugas-tugas pokonya. Begitu juga siswa, masing-masing mereka memiliki persepsi, konstruk dan pemaknaan sendiri.
Dengan demikian, pembelajaran menurut sosiologi pendidikan yang mengambil perspektif konstruksionis harus dilakukan berdasarkan self-concept, atau pemaknaan yang diberikan oleh masing-masing actor yang ada dalam proses pendidikan itu. Self-concept mereka itu berakar pada sub kultur, bangunan pengalaman, model pengetahuan, pengharapan, bayangan-bayangan dan konsep-konsep ideal yang mereka miliki. Sosiologi pendidikanlah yang memahami dan menelusuri akar dari self-concept tersebut.

2.      Dibangun Melalui Hubungan Intersubyektif
Dalam prspektif kontrukstivisme, pengetahuan siswa adalah produk interaksi mereka dengan dunianya. Salah satunya adalah hasil interaksi dengan guru. Guru dalam menjalankan interaksi dengan siswa, selalu berangkat dari cara mereka melabeli siswanya. Label itu diberikan berdasarkan konstruk, konsep dan pemaknaannya terhadap perilaku dan sifat-sifat siswanya. Dengan label itu guru menentukan tindakan tertentu dalam proses pembelajaran. Misalnya, tindakan yang dilakukan oleh guru terhadap murid yang diberi label rajin berbeda dengan tindakan yang diberikan guru terhadap murid yang diberi label yang tidak rajin. Dengan kata lain, tindakan guru ditentukan oleh labeling, konsepsi atau konstruksnya terhadap siswanya.
Labeling bisa jadi mempengaruhi cara siswa merespon tindakan-tindakan gurunya. Namun yang perlu di garis bawahi bahwa, tindakan guru dan siswa selalu bersifat intersubjektif. Artinya, guru maupun siswa masing-masing memonitor cara masing-masing mempersepsikan situasi di ruang dan waktu dimana interaksi mereka lakukan. Dalam proses interaksi itulah masing-masing medefinisikan dunianya, yang dari hasil definisinya itu lalu masing-masing menentukan tindakannya. Oleh karena itu, pendidikan lalu dikonsep sebagai pendefinisian realitas. Dengan demikian proses pembelajaran disekolah atau dalam institusi pendidikan manapun harus dijaga interaksi antar anggota institusi tersebut, karena memang interaksi adalah inti dari proses pendidikan.
Kelas lalu dipersepsikan sebagai tempat pengembangan dan trasformasi diri (self transformation and copcept). Dengan demikian, kesamaan hak memperoleh peluang dan perlakuan dalam kelas harus menjadi focus dalam penyusunan strategi kebijakan pendidikan. Pada tahap perencanaan, prespektif ini menganjurkan agar dilakukan pelatihan guru. Perspektif ini menganjurkan pula agar perencanaan pendidikan memfokuskan pada identitas diri siswa yakni rumusan identitas yang positif yang berguna bagi pembangunan kepercayaan diri.
Pendekatan konstrutivistik juga mengimplikasikan pilihan strategi pengelolaan kelas yang spesifik. Pertama, pembelajaran harus diarahkan kepada pengalaman dan aktifitas yang berpusat pada siswa (learner-centered experiens and activities) dengan menerapkan pendekatan discovery learning dan pemecahan masalah. Pendekatan konstruktivistik juga lebih banyak mendorong guru memberi kesempatan siswa belajar dan melakukan aktifitas bersama. Oleh karena itu pendekatan pembelajaran cooperative learning, collaborative learning dan peer-assistend learning merupakan pendekatan yang dianjurkan. Dalam konteks ini, maka tugas guru adalah menyiapkan pedoman kelompok yang fair.
Pendekatan konstruktivistik sangat peduli dalam menghantarkan siswa yang baru memulai belajar untuk mengetahui tujuan belajar. Pendekatan cognitive apprenticeships dalam hal ini dapat memberikan bimbingan untuk memulai belajar dan mendorong mereka nantinya blajar secara mandiri.
Pendekatan receptional learning juga dianjurkan untuk digunakan dengan mengkombinasikan pembelajaran kolaboratif dengan petunjuk guru dan model belajar secara otonom. Oleh karena itu dorong interaksi positif antara guru dan siswa dalam satu hubungan partnership yang baik. Luangkan waktu untuk dialog, mendengar dan member respon pada siswa.

0 komentar:

Posting Komentar