PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS
A.
AKAR
PEMIKIRAN PENDIDIKAN PERSPEKTIFKONSTRUKSIONIS
Pendidikan yang dikembangkan
berdasarkan perspektif konstruksionis tidak lepas dari pemikiran sosiologi yang
dimulai oleh teoritisi jerman akhir abad 19 dan awal abad 20, terutama dari
karya simmel dan webber. Perspektif ini beranggapan bahwa perilaku manusia
secara fundamental berbeda dengan perilaku obyek alam. Manusia selalu bertindak
sebagai agen dengan mengkonstruk realitas kehidupan sosial. Cara melakukan
tergantung cara mereka memahami atau memberikan makna terhadap dunianya. Oleh karena
itu, maka tugas sosiologi adalah memahami cara agen melakukan penafsiran,
member makna terhadap realitas.
Dengan demikian,
mahasiswa yang mempelajari sosiologi pendidikan, harus mempelajari pemikiran
sosiolog amerika, seperti simmel dan George herberd mead. Mereka adalah pelopor
tradisi konstruksionisme. Mead adalah pelopor teori interaksionisme simbolik ,
sebuah pendekatan yang memanfaatkan jasa psikologi sosial, dengan mengandaikan
bahwa hubungan antara aktor dibangun dalam pola-pola bahasa komunikasi. Komunikasi
merupakan medium yang dipakai masyarakat untuk memahami aktor. Aktor memahami
realitas melalui simbol-simbol yang mereka gunakan dalam interaksi. Bahasa adalah
simbol yang paling banyak dipakai dalam interaksi individu-individu dengan
individu lainnya.
Di eropa, tradisi
konstruksionisme memunculkan sosiologi fenomenologis. Sosiologi fenomenologi
emfokuskan kajiannya kepada cara-cara yang dilakukan aktor dalam memahami dan
menafsirkan dunia sosial dengan memperhatikan pencerapan data (sense data)
kedalam tipifikasi atau penggambaran secara mental. Cara-cara individu
melakukan tipifikasi dengan menghubungkan pemahaman secara intersubyektif,
disamping juga menghubungkan antara penggambaran yang dibuat sosiolog dengan
penggambaran yang dibuat aktor.
Sementara itu, di
amerika muncul tradisi yang disebut perspektif etnometodologi. Tradisi ini
beranggapan bahwa tidak mungkin melakukan penggambaran dunia sosial secara
ilmiah. Oleh karena itu cara melakukan penggambaran yang paling mmungkin
dilakukan sosiolog satu-satunya adalah melakukan penggambaran sesuai dengan apa
yang dilakukan oleh sang aktor.
Dalam pertimbangan
sosiologi kontemporer, tradisi konstruksionis memicu munculnya teori
strukturasi. Teori strukturasi mencoba memperlihatkan bahwa dalam kehidupan
sosial terdapat hubungan antara tindakan pemahaman atau penafsiran dengan
munculnya sistem sosial yang stabil yang berkembang diluar individu dalam skala
yang luas.Setiap tindakan individu tersebut adalah dalam rangka mewujudkan
tujuan atau keinginan personal.
Dari perkembangan
tradisi konstruksionis tersebut, member inspirasi kepada para pemikir
pendidikan. Sosiologi pendidikan yang mendasarkan pada perspektif
konstruktivisme dalam hal ini memfokuskan pada “pemahaman siswa” (student’s
understanding). Pendidikan harus dimulai dari pemahaman siswa tersebut dan
pemahaman siswa harus menjadi focus perhatian guru.
Tugas praktisi
pendidikan dengan demikian adalah memahami faktor-faktor instrinsik yang ada
dalam diri siswa. Oleh karena itu pendidikan harus dimulai dari self concept
siswa. Menciptakan situasi pembelajaran yang menarik dan kondusif bukan semata
tugas guru tetapi siswa juga dinilai memiliki potensi untuk menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dalam pendidikan
konstruktivistik, pembelajaran dipandang sebagai proses yang dikendalikan
sendiri oleh siswa. Perspektif ini menekankan kepada proses pembelajaran
kolaboratif, sehingga proses pembelajarannya dilakukan bersama. Siswa diberi
fasilitas untuk berinteraksi dengan lingkungannya disertai dengan proses
refleksi diri. Dengan pendekatan seperti ini, pendidikan konstruktivistik
menegaskan bahwa sumber belajar bukan hanya bersumber dari guru, melainkan juga
dari kawan sepergaulan dan orang-orang disekitarnya.
Paradigma
konstruktivisme mengembangkan inisiatif dan kreatifitas pemikiran individu
dalam pembelajaran. Dalam pendidikan konstruktivistik, anak-anak atau siswa
belajar dengan mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks, mengembangkan
skema-skema berfikir, terutama menggunakan informasi dan pengetahuan baru untuk
meraih kemajuan. Siswa belajar berinteraksi
dengan lingkungannya.
Dengan demikian,
pembelajaran dalam paradigm konstruktivistik menjadikan siswa aktif dan
menentukan apa yang harus dipikirkan dan dipelajari. Fokusnya dalam hal ini
diarahkan kepada cara bagaimana siswa mengkonstruk makna tentang kehidupan dan
dunianya. Dalam pemikiran konstruktivisme, muncul dua aliran, yaitu:
1. Konstruktivisme
psikologis
Pendidikan difokuskan kepada siswa
sebagai individu dan bagaimana mereka mengkonstruk pengetahuan, keyakinan dan
identitasnya sendiri selama proses pembelajaran. Penganut perspektif ini antara
lain adalah piaget, yang melahirkan teori perkembangan kognitif (kemajuan
individu melalui serangkaian tahapan).
2. Konstruktivisme
sosial
Pendidikan difokuskan kepada peran faktor
sosial dan budaya dalam pengembangan pembelajaran. Perspektif ini meyakini
bahwa proses sosial merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses pembelajaran.
Ahli pendidikan vigotsky yang selalu dikaitkan dengan teori ini menganjurkan
penggunaan secara lebih kreatif strategi pembelajaran kooperatif dan
pembelajaran kolaboratif.
B.
TOKOH
PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS
Ada beberapa
tokoh utama dalam tradisi konstruksionis, mulai dari Weber, Berger, hingga
Giddens. Berikut adalah ulasan dari tokoh-tokoh tersebut.
1.
Max
Weber
Max
weber merupakan ilmuan sosial yang sangat berpengaruh, lahir di erfurt, Jerman,
21 april 1864, ayahnya seorang pejabat dan ibunya seorang cavinist. Pada
mulanya ia mengikuti gaya hidup ayahnya, tetapi kemudian tumbuh antipati dan ia
memilih dekat dengan gaya hidup ibunya. Weber tercatat sebagai pendiri
masyarakat sosioloi jerman pada tahun 1910. Ia mengkaji tindakan individu dalam
membangun teori sosiologi. Ia melihat individu yang berpengaruh di masyarakat,
tetapi dengan catatan bahwa tindakan sosial individu ini berhubungan dengan
rasionalitas, apakah rasionalitas instrumental atau rsionalitas yang
berorientasi nilai.
Rasionalitas
instrumental akan melibatkan pertimbangan dan pilihan yang sadar dan
berhubungan dengan tujuan tindakan dan alat yang digunakan untuk mencapainya.
Rasionalitas nilai lebih menekankan bahwa tindakan dikendalikan oleh kesadaran
akan keyakinan dan komitmen terhadap tatanan nilai yang luhur. Jadi dengan
demikian, alat hanya merupakan pertimbangan dan pengukuran yang sadar, tujuan-tujuannya
hanya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat
absolut atau merupakan nilai-nilai akhir baginya. Pola rasionalitas demikian
tidak hanya berlaku secara individu, tetapi juga meluas ke dalam masyarakat.
a.
Max
Weber Tentang Kapitalisme
Weber
menuangkan pemikirannya tentang kapitalisme dalam the protestan ethic and the spirit of capitalism (1958). Masyarakat
kapitalisme menurut weber, memandang manusia terutama sebagai pekerja. Ia
mencirikan kapitalisme seperti :
1. Adanya
usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan serta berkembangnya kepemilikan pribadi;
2. Berkembangnya
produksi untuk pasar;
3. Produksi
untuk massa dan melalui massa;
4. Produksi
untuk uang; dan
5. Adanya
antusiasme, etos dan efisiensi yang maksimal yang menuntut pengabdian manusia
kepada panggilan kerja.
Weber
melihat ada hal diluar ekonomi yang mempengaruhi terbentuknya kapitalisme,
yaitu agama protestan. Agama protestan mengajarkan bahwa bekerja keras
merupakan panggilan suci bagi kehidupan manusia. Berlaku hemat dengan cara
menggunakan hasil kerjanya tidak untuk bersenang-senang maupun untuk upacara
keagamaan. Weber melihat kapitalisme sebagai suatu perubahan tatanan moral yang
lama, yang menekankan pada pamrih material dan pendobrakan nilai-nilai karya
tradisional.
b.
Max
Weber Tentang Stratifikasi Sosial
Weber
mengunakan konsep klas dan klas pluralistis dalam menjelaskan stratifikasi
sosial. Klas adalah golongan orang dalam kontinum status dan situasi yang sama,
yaitu kesempatan untuk memperoleh barang dan untuk dapat menentukan sendiri
keadaan kehidupan ekstern dan nasip pribadi. klas pluralistis membicarakan
tentang “situasi golongan status”, artinya diberikan hak istimewa positif atau
negatif. Status ini diberikan dalam hubungannya dengan martabat sosial.
Dituntut secara efektif dalam gaya hidup yang spesifik. Situasi golongan status
dapat berdasarkan atas situasi klas dan hal sebaliknyapun juga bisa terjadi,
yaitu status menentukan klas.
c.
Max
Weber Tentang Klas dan Kekuasaan
Weber
menaruh perhatian bagaimana kelompok dan kepentingan kelompok muncul dalam
kehidupan sosial. Persaingan dipengaruhi oleh kekuasaan, yang mana kekuasaan
tersebut menentukan satu kelompok mendominasi kelompok sosial yang lain.
Kekuasaan tersebut meliputi dimensi klas, status, dan partai.
Klas
mengacu kepada tatanan ekonomi masyatakat yang dalam hal ini “hubungan pasar”
(berkaitan dengan kepemilikan inidividu) merupakan suatu hala yang utama.
Status mengacu kepada cara oranisasi
masyarakat memmunculkan perbedaan lantaran prestise atau kehormatan bagi
kelompok individu yang berbeda-beda. Kehormatan atau status sosial bersumber
dari gaya hidup yang dipakai oleh kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti
ritual dan perkawinan. Partai adalah cara kelompok mengorganisir diri dalam
mencapai tujuan hidup. Partai bisa dibentuk atas dasar klas maupun kelompok
status atau gabungan dari keduanya.
Partai
berusaha meraih posisi, kehormatan dan kontrol atas tatanan sosial. Mereka juga
mencari keabsahan atau legitimasi di mata kelompok yang dikuasai. Ada tiga
sumber legitimasi, yaitu tradisi, kharisma, dan instrumen rasional.
Kontribusi weber terhadap sosiologi pendidikan
Pemikiran
weber memberi inspirasi untuk melihat pendidikan tidak dari aspek struktural,
institusi ataupun sistem, melainkan dari sudut pemahaman dan pemaknaan individu
tentang pendidikan. Dalam hal ini weber tetap memberi perhatian terhadap
struktural makro. Teori yang ditawarkan tentang organisasi birokrasi rasional
juga menginspirasi bagaimana dunia pendidikan mengorganisir diri. Birokrasi
yang dimaksud adalah birokrasi modern yang ditandai dengan kepemimpinan yang
didasarkan kepada legitimasi legal rasional.
Pendidikan
menurut weber harus mengajarkan “budaya status” tertentu. Hubungan kekuasaan
dan konflik kepentingan selalu muncul di masyarakat dan mempengaruhi kondisi di
sekolah. Pada umumnya yang terjadi ialah kelompok budaya dominan juga yang
membentuk budaya yang berlaku di sekolah.
Weber
pernah menulis the rationalization of
education and training, yang didalamnya ia menyatakan bahwa pendidikan yang
rasional melahirkan tipe “manusia spesialis”, berbeda dengan manusia terlatih
yang dilahirkan pendidikan berorientasi vocational.
Di masyarakat pra industri pendidikan menjadi faktor penting dalam menyiapkan
agen perubahan yang terdidik untuk menduduki posisi penting dalam mendorong
pertumbuhan masyarakat. di masyarakat industri, pendidikan memperoleh presure dari kelas menengah yang bekerja
keras merebut posisi dalam sistem ekonomi yang terus berubah.
Menurut
weber ada dua tipe manusia di sekolah, yaitu insider dan outsider. Insider
adalah mereka yang memeiliki status budaya yang diperole dari tata nilai dan
berbagai proses pengalaman di sekolah. Outsider adalah mereka yang memiliki
banyak kendala untuk bisa menjadi manusia berhasil di sekolah.
2.
DARI
EDMUND HUSSERL, ALFRED SCHUTZ, MEAD, COOLEY HINGGA GOFFMAN
Ada
pemikiran lain yang mencoba menghubungkan antara indvidu dan struktur ini.
Pemikian ini didasari oleh filsafat aliran Fenomologi ini di latarbelakangi
oleh pemikiran Edmund Husserl dan Alfred Schutz. Menurut Husserl, pengetahun
ilmiah sebenarnya terpisahkan dari pengalaman sehari-hari dari
kegiatan-kegiatan di mana pengalaman dan pengetahuan berakar. Fenomologi
sebagai suatu bentuk dari idealiasme yang semata-mata tertarik pada cara-cara
bekerjanya kesadaran manusia beserta dasar-dasarnya. Dunia yang kita diami
menurut perspektif ini diciptakan oleh kesadaran-kesadaran yang ada di kepala
kita masing-masing, namun tidak berarti dunia yang eksternal itu tidak ada.
Dunia eksternal itu ada, dan hanya dapat dimengerti melalui kesadaran kita
tentang dunia itu.
Proses
bagaimana manusia membangun dunianya dijelaskan oleh Alfred Schutz melalui
proses pemaknaan. Proses pemaknaan itu berawal dari arus pengalaman yang
berkesinambungan yang diterima oleh panca indera. Pengidentifikasian dari dunia
pengalaman inderawi yang bermakna inilah yang terjadi di dalam kesadaran
individu secara terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam interkasi
antara kesadaran-kesadaran.
Schutz
menganggap cara berfikir Weber sudah benar, akan tetapi ada beberapa aspek yang
problematik. Pertama ia mempersoalkan ide Weber yang mempersoalkan ide Weber
yang menyatakan bahwa makna tindakan adalah identik dengan motive tindakan. Dalam hal ini semua tindakan memiliki makna, baik
tindakan rasional dan irasional.
Dari
pemikiran yang tergambar di muka lalu muncul tradisi Interaksionisme Simbolik.
Tradisi ini, menurut salah satu pelopornya, Herbert Blumer bertumpu pada tiga
premis utama, yaitu (1) manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna
yang ada pada sesuatu bagi mereka. (2) Makna tersebut berasal dan hasil
interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan (3) Makna-makna tersebut
disempurnakan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran di saat proses
interaksi sosial berlangsung.
Implikasi
dari ketiga premis tersebut, maka tindakan manusia bukan disebabakan oleh
“kekuatan luar” tetapi juga bukan karena “kekuatan dalam”. Individu dalam hal
ini yang benar adalah membentuk objek-objek yang berbeda, memberinya arti,
menilai kesesuiannya dengan tindaan, dan mengambil keputusan berdasarkan
penilaian tersebut.
Oleh
karena itu individu senantiasa berupaya mengantisipasi tindakan orang lain dan
menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan orang lain.
Proses inilah yang dinamakan Blumer sebagai self-indication.
Sosiolagi pendidikan mengikuti perspektif ini kemudian menyarankan agar para
pendidik memahami siswa sebagia individu yang aktif yang mmiliki kesadaran,
selalu merancang tindakannnya dan selalu melakukan refleksi.
Dapat
dipahami dari pemikiran Mead dan Cooley bahwa individu memiliki berbagai
pengalaman budaya. Mereka menggunakan berbagai pengalaman, pengharapan,
sentimen, dan rasionalitas yang dimilikinya itu guna menafsirkan dan
mendefinisikan berbagai situasi sosial. Mereka melakukan penafsiran dengan cara
yang sama ketika ada kesamaan pengalaman sosialisasi dan ekspektasi. Namun di
lain pihak terjadi perbedaaan karena pengalaman, status sosial dan klas sosial
individu satu sama lain tidak sama. Atas dari dasar asumsi itu maka sosiologi (pendidiakan) harus memberi
perhatian kepada interaksi sosial, baik di masyarakat, di pendidikan sekolah
maupun dalam situasi-situasi lainnya.
Goffman
memandang perilaku manusia bagai seni teater, yang tidak bisa diukur secara
kuantitatif, menggunakan alat-alat statistik. Semua manusia memainkan peran,
baik peran diatas panggung maupun di balik panggung. Ketika di atas panggung
manusisa cenderung memanipulasi penampilannya agar membuahkan reaksi positif
dari orang lain, ketika di balik panggung ia bertndak sebagai dirinya sendiri.
Dengan demikian sosiologi pendidikan bertugas membantu mamahami bagaimana
individu bertindak dalam relasinya dengan pihak-pihak lain di sekolah.
- PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMAN
Berger
dan Luckman menjelaskan bahwa makna-makna umum yang dimiliki bersama dan
diterima tetap dilihat sebagai dasar dari organisasasi sosial, namun makna yang
berkembang di luar makna-makna umum merupakan hasil manusia yang muncul dari
lingkungan sosial yang diciptakannya. Berger mengingatkan agar pendapat, ide
dan persesi personal tidak ikut mewarnai ketika mencoba memahami realitas yang
ada dihadapannya.
Pemikiran
itu dikemukakannya karena selama ini ia menganggap banyak orang telah terjebak
menjadi korban dari masyarakatnya. Mereka dilahirkan di sebah masyarakat, dan
kemudian terpenjara dan dikendalikan oleh masyrakat itu.
Jadi
kita ini adalah individu yang dipenjara oleh epoch sejarah di mana kita dilahirkan, kita adalah anak dari budaya
masyrakat kita. Kita tumbuh berkembang, berbahasa, berperilaku, menggagas,
memperoleh pengetahuan, pemahaman serta persepsi yang kita peroleh dari budaya
sekitar kita. Namun sebagai individu, kita tidak hanya tinggal diam, dan hanya
memberikan konformasi, tetapi juga mengelola.
4.
ANTHONY
GIDDENS
5.
PIERE
BOURDIEU
C.
PENDIDIKAN
DALAM PRESPEKTIF KONSTRUKSIONISME
1. Dimulai
dari Makna dan Self-Concept
Kehidupan
sehari-hari yang ada di sekolah ataupun masyarakat, merupaka konstruk individu
yang berada didalamnya. Konstruk atau cara individu mempersepsikan, memaknai
dan mendefinisikan kehidupan sehari-hari itulah yang akan membentuk format
kehidupan nyata. Dalam kacamata sosiologi, pendidikan yang menganut perspektif
konstruksionis, proses pendidikan hanya dapat dipahami dengan cara menulusuri
dunia subjektif, dunia makna dan self
concept individu yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Contoh dalam
memahami sitem evaluasi pendidikan yang mengutamakan tes kognitif seperti ujian
nasional. Ada individu yang mengartikan bahwa tes kognitif sangat penting,
karena merupakan cara praktis dan efisien untuk mengukur tingkat kecerdasan
siswa dalam jumlah yang banyak. Namun ada juga yang menilai bahwa system tes
seperti itu tidak dapat mengukur seluruh kecerdasan siswa dan hanya mengukur
kecerdasan kognitif saja. Perbedaan konstruk, self concept dan pemaknaan terhadap penyelenggaraan tes tersebut
bisa ditelusuri dari latar belakang individu.
Dalam
kehidupan masyarakat, kemampuan individu mengkonstruk, mengkonsepsikan dan
memaknai penting perananya dalam mempengaruhi pendidikan. Cara memaknai dunia
di sekitarnya yaitu dilakukan sejalan dengan interaksi yang dilakukan dengan
actor pendidikan yang lain. Misalnya, siswa mempersepsikan gurunya hari itu
akan menyampaikan pelajaran di kelas dengansantai seperti biasa yang dilakukan.
Namun dalam kenyataan pada hari itu, guru mengajar dengan sangat serius. Dengan
demikian respon siswa tidak seperti biasanya yang santai, tetapi juga berubah
menjadi lebih serius.
Sosiologi
pendidikan menganut perspektif konstruksionis, tidak seperti penganut
structural fungsional yang menekankan peran sosial. Dalam dunia pendidikan
masing-masing jabatan bahkan masing-masing individu memiliki peran dan
fungsinya. Meskipun statusnya sama-sama guru misalnya, setiap guru memiliki
caranya sendiri dalam mengkonsepsikan, mengkonstruk peranya di sekolah, didepan
kelas, atau ketika diluar tugas-tugas pokonya. Begitu juga siswa, masing-masing
mereka memiliki persepsi, konstruk dan pemaknaan sendiri.
Dengan
demikian, pembelajaran menurut sosiologi pendidikan yang mengambil perspektif
konstruksionis harus dilakukan berdasarkan self-concept,
atau pemaknaan yang diberikan oleh masing-masing actor yang ada dalam proses
pendidikan itu. Self-concept mereka
itu berakar pada sub kultur, bangunan pengalaman, model pengetahuan,
pengharapan, bayangan-bayangan dan konsep-konsep ideal yang mereka miliki.
Sosiologi pendidikanlah yang memahami dan menelusuri akar dari self-concept tersebut.
2. Dibangun
Melalui Hubungan Intersubyektif
Dalam
prspektif kontrukstivisme, pengetahuan siswa adalah produk interaksi mereka
dengan dunianya. Salah satunya adalah hasil interaksi dengan guru. Guru dalam
menjalankan interaksi dengan siswa, selalu berangkat dari cara mereka melabeli
siswanya. Label itu diberikan berdasarkan konstruk, konsep dan pemaknaannya
terhadap perilaku dan sifat-sifat siswanya. Dengan label itu guru menentukan
tindakan tertentu dalam proses pembelajaran. Misalnya, tindakan yang dilakukan
oleh guru terhadap murid yang diberi label rajin berbeda dengan tindakan yang
diberikan guru terhadap murid yang diberi label yang tidak rajin. Dengan kata
lain, tindakan guru ditentukan oleh labeling, konsepsi atau konstruksnya
terhadap siswanya.
Labeling
bisa jadi mempengaruhi cara siswa merespon tindakan-tindakan gurunya. Namun
yang perlu di garis bawahi bahwa, tindakan guru dan siswa selalu bersifat
intersubjektif. Artinya, guru maupun siswa masing-masing memonitor cara
masing-masing mempersepsikan situasi di ruang dan waktu dimana interaksi mereka
lakukan. Dalam proses interaksi itulah masing-masing medefinisikan dunianya,
yang dari hasil definisinya itu lalu masing-masing menentukan tindakannya. Oleh
karena itu, pendidikan lalu dikonsep sebagai pendefinisian realitas. Dengan
demikian proses pembelajaran disekolah atau dalam institusi pendidikan manapun
harus dijaga interaksi antar anggota institusi tersebut, karena memang
interaksi adalah inti dari proses pendidikan.
Kelas
lalu dipersepsikan sebagai tempat pengembangan dan trasformasi diri (self transformation and copcept). Dengan
demikian, kesamaan hak memperoleh peluang dan perlakuan dalam kelas harus
menjadi focus dalam penyusunan strategi kebijakan pendidikan. Pada tahap
perencanaan, prespektif ini menganjurkan agar dilakukan pelatihan guru.
Perspektif ini menganjurkan pula agar perencanaan pendidikan memfokuskan pada
identitas diri siswa yakni rumusan identitas yang positif yang berguna bagi
pembangunan kepercayaan diri.
Pendekatan
konstrutivistik juga mengimplikasikan pilihan strategi pengelolaan kelas yang
spesifik. Pertama, pembelajaran harus diarahkan kepada pengalaman dan aktifitas
yang berpusat pada siswa (learner-centered
experiens and activities) dengan menerapkan pendekatan discovery learning dan pemecahan masalah. Pendekatan konstruktivistik
juga lebih banyak mendorong guru memberi kesempatan siswa belajar dan melakukan
aktifitas bersama. Oleh karena itu pendekatan pembelajaran cooperative learning, collaborative learning dan peer-assistend learning merupakan
pendekatan yang dianjurkan. Dalam konteks ini, maka tugas guru adalah
menyiapkan pedoman kelompok yang fair.
Pendekatan
konstruktivistik sangat peduli dalam menghantarkan siswa yang baru memulai
belajar untuk mengetahui tujuan belajar. Pendekatan cognitive apprenticeships dalam hal ini dapat memberikan bimbingan
untuk memulai belajar dan mendorong mereka nantinya blajar secara mandiri.
Pendekatan
receptional learning juga dianjurkan
untuk digunakan dengan mengkombinasikan pembelajaran kolaboratif dengan
petunjuk guru dan model belajar secara otonom. Oleh karena itu dorong interaksi
positif antara guru dan siswa dalam satu hubungan partnership yang baik.
Luangkan waktu untuk dialog, mendengar dan member respon pada siswa.
0 komentar:
Posting Komentar